TEORI
HUKUM PERTANAHAN
YANG
PERNAH BERLAKU DI INDONESIA
MAKALAH
HUKUM AGRARIA
Oleh
AGUSSALAM
NASUTION
NPM. 0920010050
PROGRAM
MAGISTER ILMU HUKUM
PROGRAM
PASCASARJANA
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA
MEDAN
2012
TEORI
HUKUM PERTANAHAN
YANG
PERNAH BERLAKU DI INDONESIA
Oleh:
Agussalam Nasution
A.
Pendahuluan
Tanah mempunyai arti penting dalam kehidupan manusia. Dalam ajaran
agama Islam diyakini bahwa manusia sendiri berasal dari tanah dan akan kembali
ke tanah. Dalam kehidupan manusia sehari-hari tidak sedikit terjadi pertumpahan
darah yang disebabkan oleh sengketa kepemilikan tanah, bahkan satu keluarga
terkadang bisa retak akibat persengketaan tanah. “Di masyarakat hukum etinis Jawa terkenal filosofi yang
menyatkan sedumuk batuk senyari bumi, yen perlu ditohi pati (biar
sejengkal tanah miliknya bila perlu dipertahankan sampai mati)”[1]
Tanah memang menjadi salah satu sumber utama kehidupan manusia.
Buah-buahan dan tumbuh-tumbuhan yang dikonsumsi manusia adalah hasil dari tanah
baik itu tanah persawahan maupun perkebunanan. Intinya manusia dalam
kehidupannya tidak bisa terlepas dari tanah, karena manusia hidup dan
beraktifitas di atas tanah. Dalam hal ini masyarakat hukum etnis Batak
menyatakan tanah sebagai ulos na sora buruk (kain yang tak akan pernah
lapuk).[2]
Menurut Soerojo Wignjodipoero[3] ada dua hal yang menyebabkan tanah itu memiliki kedudukan yang
sangat penting dalam hukum adat, yaitu pertama, karena sifatnya, dimana
tanah merupakan satu-satunya benda kekayaan yang meskipun mengalami keadaan
yang bagaimanapun juga, toh masih bersifat tetap dalam keadaannya, bahkan
terkadang semakin lama harganya bisa semakin mahal. Kedua, karena fakta
bahwa tanah merupakan tempat tinggal persekutuan, bisa memberikan penghidupan
kepada persekutuan, tempat dimana para warga persekutuan yang meninggal dunia
dikebumikan, serta tempat tinggal dayang-dayang pelindung persekutuan dan roh
leluhur persekutuan.
Pada zaman dahulu ketika penduduk bumi masih jarang manusia bebas
mengusahai tanah yang dianggapnya subur untuk bercocok tanam dan beraktifitas.
Seiring dengan perkembangan zaman, pada masa pemerintahan kerajaan-kerajaan
dahulu di nusantara rakyat juga bebas membuka lahan dan mengusahai tanahnya
atas seizin dari raja/sultan. Pada masa itu sultan/raja memang memilki otoritas
yang relatif besar atas tanah. Menurut Soemarsaid Martono sebagaimana dikutip
oleh Soeprijadi, “raja mempunyai dua hak atas tanah. pertama, berupa hak
politik atau hak publik yang mengatur dan menetapkan masalah luas daerah dan
batas-batas kekuasaannya. Kedua, adalah hak untuk mengatur hasil tanah
sesuai dengan adat.”[4]
Seiring dengan perkembangan zaman dan masuknya pengaruh-pengaruh
asing terhadap tatanan kehidupan masyarakat adat, penguasaan atas tanah
dinusantara juga mulai berubah. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Siregar
sebagai berikut:
Menurut
konsep hukum adat awalnya semua tanah adalah milik raja yang kemudian kepada
rakyat diberi hak menggunakan atau memakainya. Tetapi selanjutnya hal itu
mengalami perubahan sejalan dengan masuknya hukum-hukum lain lewat penjajahan
kolonial dan masuknya agama yang nilai-nilainya diresepsi (diterima) oleh hukum
adat sehingga kebebasan para anggota masyarakat untuk membuka dan mempergunakan
tanah tersebut semakin bebas.[5]
Dalam sejarah hukum pertanahan di Indonesia, dikenal adanya tiga
teori hukum pertanahan yang pernah berlaku, penerapan hukum ini dipengaruhi
oleh politik hukum pertanahan dari pemerintahan yang pernah berkuasa. Makalah
ini ditujukan untuk menguraikan secara singkat tentang ketiga teori hukum
pertanahan yang pernah berlaku tersebut.
B.
Pembahasan (Teori Hukum Pertanahan yang Pernah Berlaku di
Indonesia)
“Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat” demikian bunyi pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Berdasarkan bunyi pasal 33
tersebut dapat dipahami bahwa segala tanah air Indonesia berada di bawah
kekuasaan negara, dan sebagai konskwensinya negara berkewajiban untuk
mempergunakan tanah air tersebut bagi kemakmuran rakyatnya.
Tanah memang menjadi hal penting dalam
kehidupan manusia, untuk itu penting diatur keberadaannya, dan negara sebagai
penguasa tanah bertanggungjawab untuk membuat peraturan tentang pertanahan
tersebut. maka setelah Indonesia merdeka dan situasi politik agak normal, pada
tanggal 24 September 1960 disusunlah UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria yang kemudian dikenal dengan Undang Undang Pokok
Agraria (UUPA).
UUPA sebagai turunan dari pasal 33
ayat 3 UUD 1945 mengandung asas (prinsip) bahwa semua hak atas tanah dikuasi
oleh negara, dan asas bahwa hak milik atas tanah “dapat dicabut untuk
kepentingan umum”. prinsip ini tertuang dalam pasal 2 dan pasal 18 UUPA.
Berdasarkan pasal 2 UUPA ini negara menjadi pengganti semua pihak yang mengaku
sebagai penguasa tanah yang sah. Negara dalam hal ini merupakan lembaga hukum
sebagai organisasi seluruh rakyat Indonesia. Pemerintah sebagai lembaga
pelaksana UU negara dalam proses ini bertindak sebagai pihak yang melaksanakan
dan menerapkan ketentuan yang terdapat dalam pasal 2 UUPA tersebut.[6]
Dengan demikian Menurut Syafruddin
Kalo, “pemerintah menjadi pihak yang wajib dan berwenang mengatasi dan
menengahi sengketa hak penguasaan atas tanah yang muncul sekaligus menjadi
fasilitator bagi pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa”.[7] Kewenangan keagrariaan ada
pada pemerintah pusat namun, pada pelaksanaannya dapat dilimpahkan pada
pemerintah daerah ataupun kepada persekutuan masyarakat hukum adat.[8]
Status kepemilikan tanah sering
menjadi muasal dari perselisihan di Indonesia, yang barangkali disebakan oleh
tidak adanya ketegasan penyelenggara negara mengenai kepemilikan ini. Untuk itu
berikut ini akan dikemukakan mengenai teori kepemilikan/penguasaan tanah di
Indonesia.
Dalam sejarah hukum pertanahan di
Indonesia sejak zaman kesultanan, zaman kolonial, sampai zaman kemerdekaan,
dalam prakteknya diperlakukan 3 (tiga) teori penguasaan tanah yakni teori
eropa, teori adat dan teori hukum nasional.[9] Ketiga teori ini silih berganti diterapkan di Indonesia sesuai
dengan zamannya masing-masing.
B.1 Teori Eropa.
Teori Eropa merupakan penguasaan
atas tanah berdasarkan pemikiran orang eropa. Sebagaimana diketahui, bahwa pada
masa lalu wilayah nusantara pernah menjadi bahagian dari wilayah kekuasaan
bangsa eropa sehingga hukum pertanahan yang diterapkan oleh penguasa eropa tersebut
dipengaruhi oleh pemikiran orang eropa. Sejarah eropa telah mencatat bahwa
sebelum terjadinya Revolusi Prancis, di Eropa berlaku doktrin bahwa raja adalah
wakil Tuhan di bumi, sehingga pada masa itu raja-raja di eropa memiliki
kekuasaan yang sangat tinggi untuk mengatur negaranya, bahkan raja dianggap
berkuasa atas segala hal, raja adalah penguasa negara dan raja pula berkuasa
atas tanah-tanah di negaranya.
Seiring dengan berkuasanya
bangsa-bangsa eropa di Indonesia, maka pemikiran bahwa raja adalah penguasa
mutlak atas tanah negara diberlakukan juga di Indonesia oleh penguasa bangsa
eropa tersebut. dalam hal ini Kalo mencatat sebagai berikut:
Di Eropa
sebelum masa Revolusi Perancis berlaku doktrin bahwa raja adalah penguasa
segala hal di negaranya dengan semboyan “L’etat c’est Moi” atau Negara
adalah Saya, teori ini mencerminkan kekuasaan yang besar atas tanah. Raja
dianggap sebagai wakil negara dan pemilik tanah adalah negara. Teori ini juga
berlaku di Inggris dan Belanda. Indonesia sebagai negara jajahan Belanda
memberlakukan teori ini di Indonesia, yang berarti bahwa semua tanah di
Indonesia adalah milik raja dan dengan demikian oleh karena raja takluk kepada
pemerintahan kolonial, maka semua tanah di negara jajahan dikonversi menjadi
milik raja Belanda. Oleh karena itu pemerintah Kolonial menganggap semua tanah
yang ada di Indonesia adalah milik penguasa kolonial. Dengan memberlakukan azas
domein verklaring, dengan arti bahwa semua tanah-tanah tidak dapat
dibuktikan siapa pemiliknya adalah menjadi tanah negara. Atas dasar teori ini
maka pemerintah kolonial dapat menyewakan tanah-tanah kepada perusahaan onderneming
dengan skala besar.[10]
Kebijakan pemberlakuan teori domein
verklaring didasari atas alasan-alasan karena pemerintah Belanda menganggap
raja-raja di Indonesia yang mempunyai kekuasaan hak domein atas tanah
maka dengan sendirinya hak domein itu juga diambil over oleh Belanda
karena Belanda memegang kedaulatan di Indonesia. [11] Teori ini sengaja diterapkan agar pemerintah Hindia Belanda dapat
memiliki tanah-tanah rakyat indonesia yang pada waktu hampir seluruhnya masih
menerapkan sistem hukum adat. Karena pemilikan atas tanah berdasarkan sistem
adat tidak ada satupun yang menyamai hak eigendom.[12]
Dasar hukum pemberlakuan domein
verklaring oleh pemerintah Hindia Belanda di dasarkan kepada Agrarische Wet
(staatblad 1870 nomor 118) yang terkait dengan Agrarische Wet (staatblad 1870
nomor 55). Pasal 1 Agrarische Besluit menetukan bahwa terhadap tanah-tanah yang
tidak dapat dibuktikan kepemilikannya akan menjadi milik negara.[13]
Kebijakan pemerintah Belanda dalam
memperlakukan teori domein verklaring ini sangat merugikan rakyat karena
domein diperlakukan di atas tanah rakyat dan memungkinkan tanah-tanah
hak ulayat diberikan kepada orang asing dengan hak sewa (erfacht).[14] Dalam hal ini ada dua hal penting yang terkait
dengan domein verklaring, yaitu:
a.
Hubungan
antara negara dengan tanah dipersamakan dengan hubungan antara tanah dengan
perseorangan yang bersifat privaattreefhtelijk.
b.
Domein
verklaring tidak lebih ditujukan terhadap
tanah yang tunduk pada hukum adat, mengingat dalam sistem hukum adat tidak
dikenal dengan sistem pembuktian kepemilikan secara tertulis seperti yang
dikenal dalam hukum barat.[15]
Berdasarkan teori domein
verklaring, ini maka tanah-tanah adat dianggap sebagai milik negara.
Akibatnya pemerintahan negara menganggap negara berwenang untuk memberikan hak erfphacht
kepada investor untuk mengusahai tanah-tanah adat tersebut, demikian juga para
investor merasa sah untuk menguasai dan mengusahai tanah-tanah tersebut. Di
sisi lain anggota masyarakat hukum adat merasa bahwa tanah-tanah tersebut masih
merupakan milik mereka karena memang anggota-anggota masayarakat tersebut tidak
pernah melepaskan haknya atas tanah-tanah adatnya itu.
Pemberlakuan teori domein ini
jelas sangat merugikan rakyat pribumi (masyarakat hukum adat) karena akibat
dari pemberlakuan teori tersebut maka tanah adat (ulayat) yang meskipun menurut
kenyataannya masih ada dan ditaati oleh masyarakat hukum adat, tidak diakui
lagi keberadaannya, karena tanah tersebut telah dikategorikan sebagai domein
negara, yaitu tanah negara bebas (vrij lands domein).[16]
B.2 Teori Adat
Teori
pemilikan tanah berdasarkan hukum adat adalah tanah merupakan milik komunal
atau persekutuan hukum (beschikkingsrecht). Dalam hal ini setiap anggota
persekutuan dapat mengerjakan tanah dengan jalan membuka tanah terlebih dahulu
dan jika mereka mengerjakan tanah tersebut secara terus-menerus maka tanah
tersebut dapat menjadi hak milik secara individual.[17]
Tentang
pemilikan tanah adat ini, Ter Haar sebagaimana dikutip oleh Kalo menjelaskan
sebagai berikut:
Hukum adat
memberikan hak terdahulu kepada orang yang dulu menaruh tanda pelarangannya
atau mula-mula membuka tanah; bilama ia tidak mengerjakan pekerjaan-pekerjaan
penebangan dan pembakaran menurut musimnya, maka orang lain bisa mendesaknya
supaya memilih: mengerjakan terus atau menyerahkan tanahnya kepadanya. Jadi
tuntutan pemilikan hak milik ini lenyap sama sekali bilamana ada lain orang
sesama anggota yang menginginkannya dan mendesak dia memilih satu antara kedua
pilihan itu.[18]
Menurut Wignjodipoero, hak
persekutuan atas tanah ini disebut juga
hak pertuanan atau hak ulayat, sementara
Van Vollenhoven menyebutnya dengan istilah bescikkingsrecht.[19] Lebih lanjut Wignjodipoero mengatakan bahwa “hak ulayat ini dalam
bentuk dasarnya adalah suatu hak daripada persekutuan atas tanah yang didiami,
sedangkan pelaksanaannya dilakukan atau oleh persekutuan itu sendiri atau oleh
kepala persekutuan atas nama persekutuan.”[20] Dalam hal ini pengertian hak ulayat disebutkan sebagai berikut:
Hak ulayat adalah hak suatu masyarakat hukum adat untuk menguasai
tanah yang masih merupakan hutan belukar di dalam wilayahnya untuk kepentingan
masayarakat hukum itu sendiri dengan para anggotanya atau untuk kepentingan
orang luar masyarakat hukum itu dengan membayar uang pengakuan yang disebut
atau bisa disamakan dengan recognitie.[21]
Sebagai tanah ulayat persekutuan
hukum adat, maka pada prinsipnya hanya anggota masyarakat hukum adat
(persekutuan) itu sendiri yang boleh menggarap tanah ulayat tersebut. dalam hal
ini Wignjodiopero menjelaskan sebagai
berikut:
Beschikkingsrechts
atapun hak ulayat ini berlaku ke luar dan ke dalam. Berlaku ke luar
karena bukan warga persekutuan pada prinsipnya tidak diperbolehkan turut
mengenyam/menggarap tanah yang merupakan wilayah kekuasaan persekutuan yang
bersangkutan; hanya dengan seizin persekutuan serta setelah membayar pancang
(uang pemasukan) dan kemudian memberikan ganti rugi, orang luar bukan warga
persekutuan dapat memperoleh kesempatan
untuk turut serta menggunakan tanah wilayah persekutuan.
Berlaku ke
dalam karena persekutuan sebagai suatu keseluruhan yang berarti semua warga persekutuan
bersama-sama sebagai suatu kesatuan, melakukan hak ulayat dimaksud dengan
memetik hasil daripada tanah beserta segala tumbuh-tumbuhan dan binatang liar
yang hidup atasnya.[22]
Adapun mengani
luas wilayah tanah ulayat ini, Erman Rajagukguk sebagaiman dikutip oleh Kalo
mengatakan sebagai berikut:
Semua tanah,
hutan, jika perlu sampai ke puncak gunung, jika penduduk mempunyai hak baik
yang nyata maupun yang secara diam-diam diakui, tanah itu bukan tanah negara.
Menurut hukum adat, desa mempunyai hak untuk menguasai tanah di luar perbatasan
desa, penduduk desa mempunyai hak untuk menggarap atau mencari nafkah dari
hutan dengan izin kepala desa. Menurut penafsiran Trenite, tanah tersebut milik
negara, namun menurut pandangan Van Vollenhoven, Logeman dan Ter Haar tanah
tersebut tidak di bawah kekuasaan negara. [23]
Lebih jelasnya tentang hak ulayat
ini, Siregar menguraikan ciri-ciri hak ulayat sebagai berikut:
1)
Masyarakat
hukum dan para anggota-anggotanya berhak untuk dapat mempergunakan tanah hutan
belukar di dalam lingkungan wilayahnya dengan bebas, yaitu bebas untuk membuka
tanah, memungut hasil, berburu, mengambil ikan menggembala ternak dan lain
sebagainya.
2)
Bukan anggota
masyarakat hukum dapat pula mempergunakan hak-hak tersebut hanya saja harus
mendapat izin terlebih dahulu dari kepala masyarakat hukum dan membayar uang
pengakuan atau recognite (diakui setelah memenuhi kewajibannya).
3)
Masyarakat
hukum beratnggungjawab atas kejahatan-kejahatan yang terjadi dalam lingkungan
wilayahnya apabila pelakunya tidak dapat dikenal.
4)
Masyarakat
hukum tidak dapat menjual atau mengalihkan hak ulayat untuk selama-lamanya
kepada siapa saja.
5)
Masyarakat
hukum mempunyai hak campur tangan terhadap tanah-tanah yang digarap dan
dimiliki oleh para anggota-anggotanya seperti dalam hal jual beli tanah dan
sebagainya.[24]
Van Vollenhoven sebagaimana dikutip
oleh Siregar mengatakan bahwa hak milik bumi putera (Inlands bezitrecht)
terbagi kepada dua macam yaitu:
1)
Communaal
bezitrecht (hak milik komunal) bila hak itu
ada pada masyarakat hukum.
2)
Ervelijk
individueel bezitrecht (hak milik
perorangan) bila hak milik itu ada pada anggota masyarakat hukum secara
perorangan.[25]
Berdasarkan
teori ini maka hak-hak individual dan persekutuan terhadap tanah dan tetap
diakui keberadannya yang mana hak itu diwariskan secara turun temurun terhadap
anggota keturunan masyarakat persekutuan yang mengikatkan dirinya terhadap
persekutuan adat tersebut.
B.3 Teori Hukum Nasional
Teori
hukum nasional yang dimaksudkan disini adalah hak penguasaan tanah yang
didasarkan kepada UUPA Nomor 5 Tahun 1960. Dalam hal ini Hak penguasaan tanah
yang berlaku secara yuridis di Indonesia tertuang dalam pasal 2 UUPA:
(1)
Atas dasar
ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal
1, bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung
didalamnya itu, pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai
organisasi seluruh rakyat.
(2)
Hak menguasai
dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk :
a.
mengatur dan
menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air
dan ruang angkasa tersebut;
b.
menentukan dan
mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang
angkasa.
(3)
Wewenang yang
bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut pada ayat 2 pasal ini
digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti
kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara Hukum
Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.
(4)
Hak menguasai
dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada
Daerah-daerah Swastantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar
diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menuntut
ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.[26]
Dengan berlakunya UUPA maka
peraturan-peraturan pertanahan yang merupakan produk pemerintahan Hindia
Belanda seperti Agrarische Wet, Agrarische Besluit, dan Buku II BW yang
menagtur tentang pertanahan menjadi tidak berlaku lagi, karena memang UUPA
dimaksudkan sebagai pengganti dari ketentuan-ketentuan pertanahan produk
pemerintah Hindia Belanda yang terkesan imprealistik, kapitalistik dan
feodalistik. Tentang kelahiran UUPA dalam semangat anti imprealistik,
kapitalistik dan feodalistik ini Boedi Harsono sebagaimana dikutip Liliz Nur
Faizah mencatat sebagai berikut:
UUPA sendiri
lahir dalam konteks “...perjuangan perombakan hukum agraria nasional berjalan
erat dengan sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari
cengkraman, pengaruh, dan sisa-sisa penjajahan; khususnya perjuangan rakyat
tani untuk membebaskan diri dari kekangan-kekangan sistem feodal atas tanah dan
pemerasan kaum modal asing...”
Semangat
menentang strategi kapitalisme dan kolonialisme yang telah menyebabkan
terjadinya “penghisapan manusia atas manusia” (exploitation de l’homme par
l’homme) di satu sisi; dan sekaligus menentang strategi sosialisme yang
dianggap “meniadakan hak-hak individual atas tanah” di sisi lain menjadi
landasan ideologis dan filosofis pembentukan UUPA. Selain itu, salah satu arti
penting UUPA lainnya, bahwa hukum agraria nasional adalah berdasar hukum adat
dan tidak lepas dari konteks landreform yang menjadi agenda pokok pembentukan
struktur agraria saat itu.[27]
Menurut Subekti,[28] UUPA dimaksudkan untuk mengadakan Hukum Agraria Nasiona yang
berdasarkan hukum adat tentang tanah, dengan kelahiran UUPA maka tercapailah
suatu keseragaman menganai hukum tanah, sehingga tidak ada lagi hak atas tanah
menurut hukum Barat disamping hak atas tanah menurut hukum adat.
Hal penting tentang penguasaan tanah
dalam UUPA adalah ditegaskannya hak pengusaan negara terhadap tanah, akan
tetapi kendati negara diakui sebagai penguasa atas tanah bukanlah berarti
negara bisa bertindak sewenang-wenang atas seluruh tanah yang ada di negara
ini. Penguasaan negara ini dibatasi oleh adanya hak individu dan hak
persekutuan hukum adat terhadap tanah. Dalam hal ini Kalo menjelaskan sebagai
berikut:
Kekuasaan
negara terhadap tanah yang sudah dipunyai orang dengan sesuatu hak dibatasi
oleh isi dari hak itu, artinya sampai seberapa negara memberikan kekuasaan
kepada seorang yang mempunyainya untuk menggunakan haknya. Sedangkan kekuasaan
negara atas tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang atau
pihak lain adalah sangat luas dan penuh. Misalnya negara dapat memberikan tanah
yang sedemikian itu kepada seseorang atau badan hukum dengan suatu hak menurut
peruntukkannya dan keperluannya, misalnya Hak Milik dan Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan atau Hak Pakai ataupun dengan memberikan hak pengelolaan pada
suatu badan penguasa. Dalam pada itu kekuasaan negara atas tanah-tanah ini pun
sedikit atau banyak dibatasi pula oleh hak ulayat dari kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum sepanjang kenyataan hak ulayat itu masih ada.[29]
Berdasarkan ulasan Kalo tersebut
diatas, maka penguasaan negara atas tanah dibedakan kepada dua penguasaan yaitu
penguasaan langsung dan penguasaan tidak langsung. Penguasaan langsung adalah
penguasaan negara terhadap tanah yang belum dihaki perseorangan, Menurut
Sunarjati Hartono[30] tanah seperti ini disebut dengan istilah “tanah yang dikuasai
langsung oleh negara” atau kemudian disebut secara singkat sebagai “tanah
negara”. Adapun hak menguasai negara secara tidak langsung adalah hak menguasai
negara terhadap tanah yang telah dihaki perseorangan, atau disebut dengan
“tanah yang dikuasai tidak langsung oleh negara” atau “tanah negara tidak
bebas”.
Menurut Imam Sutiknjo, kewenangan
terhadap tanah yang sudah dihaki perseorangan ini pada dasarnya bersifat pasif,
kecuali jika tanah itu dibiarkan tidak diurus/ditelantarkan. Sehingga negara
dapat mengaturnya supaya produktif.[31] Dengan lahirnya UUPA maka hak-hak atas tanah di Indonesia dibatasi
kepada lima macam hak yaitu, hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak
pakai, dan hak sewa.
C.
Hubungan
Saling Pengaruh antara Hukum Eropa, Hukum Adat dan Hukum Nasional terhadap
Status Kepemilikan Tanah di Indonesia
Sebagaimana
diketahui bahwa sebelum bangsa eropa menjajah nusantara, di nusantara ini
terdapat beberapa kerajaan-kerajaan yang pemerintahannya diatur dan dijalankan
berdasarkan adat istiadat yang berlaku di wilayah kerajaan tersebut.
peraturan-peraturan yang berlaku di wilayah kerajaan itu dianut dan diwariskan
secara turun temurun sehingga menciptakan keharmonisan diantara sesama
masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
Kedatangan
bangsa eropa ke nusantara yang lambat laun akhirnya menjajah nusantara ini,
berdampak besar terhadap perobahan tatanan masyarakat hukum adat yang mendiami
nusantara ini. Perobahan itu dirasakan betul oleh penduduk baik itu disebabkan
oleh politik yang diterapkan oleh penjajah maupun hukum yang diberlakukan oleh
pemerintah penjajah.
Salah
satu perobahan yang terjadi itu adalah dalam hal keagrariaan. Sebelum pemerintahan
belanda berkuasa di Indonesia maka hak-hak atas tanah yang berlaku di Indonesia
di atur berdasarkan hukum adat, akan tetapi setelah pemerintah belanda berkuasa
maka pengaturan hak-hak atas tanah yang diberlakukan bisa dikelompokkan ke
dalam 3 jenis yaitu[32]:
1.
Hak-hak asli
Indonesia, yaitu hak-hak atas tanah menurut hukum adat;
2.
Hak-hak Barat,
yaitu hak-hak atas tanah menurut Hukum Barat, yaitu hukum yang dibawa oleh
Pemerintah Hindia Belanda ke Indonesia bersamaan dengan Hukum Eropa. Dalam hal
ini, Pemerintah Hindia Belanda memberlakukan asas konkordansi dengan menerapkan
aturan yang berlaku di Negeri Belanda di Indonesia, serta
3.
Hak-hak atas
tanah daerah yang di atasnya masih ada penguasaan dari kerajaan setempat,
misalnya Yogyakarta, Surakarta, Sumatera Timur dan daerah-daerah swapraja
lainnya.
Menurut Wignjodipoero[33]
pengaruh kekuasaan kerajaan-kerajaan dan
kekuasaan pemerintah Hindia Belanda terhadap hak ulayat ada yang bersifat
positif dan ada juga yang bersifat negatif. Pengaruh yang bersifat positif pada
umumnya berwujud sebagai perlindungan ataupun penegakan daripada hak ulayat
sesuatu persekutuan terhadap tanah wilayhnya. Contohnya adalah berupa timbulnya
surat-surat “pikukuh”ataupun “piagam” yang dikeluarkan oleh
kerajaan dengan maksud untuk menegaskan batas-batas wilayah persekutuan yang
bersangkutan, hal mana berarti suatu perlindungan bagi persekutuan yang
bersangkutan terhadap pihak ketiga. Hal semacam ini didapati pula pada masa
pemerintahan kolonial belanda, yaitu dengan diundangkannya “ordonansi-ordonans”
seperti “desa ordonansi” Staatsblad 1941 No. 356 dan “marga-ordonansi”
Staatsblad 1931 No. 6.[34]
Adapun pengaruh negatif dari
kekuasaan kerajaan-kerajaan dan kekusaan pemerintahan hindia belanda terhadap
hak ulayat berupa pemerkosaan terthadap hak-hak ulayat, pembatasan hak
masyarakat hukum adat oleh pemerintah terhadap penggunaan tanah ulayat, dan
lain sebaginya.
Sedangkan pengaruh dari hukum adat
terhadap hak kepemilikan tanah terhadap hukum agraria nasional yang berlaku
saat ini adalah bahwa UUPA sebagai hukum yang mengatur pertanahan di Indonesia
mengacu kepada hukum adat tentang tanah.
D.
Kesimpulan
Dari
uraian di atas, maka ada beberapa kesimpulan penting yang bisa dipetik yakni:
1.
Ada
dua hal yang menyebabkan tanah itu memiliki kedudukan yang sangat penting dalam
hukum adat, yaitu pertama, karena sifatnya, dimana tanah merupakan
satu-satunya benda kekayaan yang meskipun mengalami keadaan yang bagaimanapun
juga masih bersifat tetap dalam keadaannya, bahkan terkadang semakin lama
harganya bisa semakin mahal. Kedua, karena fakta bahwa tanah merupakan
tempat tinggal persekutuan, bisa memberikan penghidupan kepada persekutuan,
tempat dimana para warga persekutuan yang meninggal dunia dikebumikan, serta
tempat tinggal dayang-dayang pelindung persekutuan dan roh leluhur persekutuan.
2.
UUPA
sebagai turunan dari pasal 33 ayat 3 UUD 1945 mengandung asas (prinsip) bahwa
semua hak atas tanah dikuasi oleh negara, dan asas bahwa hak milik atas tanah dapat
dicabut untuk kepentingan umum.
3.
Dalam
sejarah hukum pertanahan di Indonesia sejak zaman kesultanan, zaman kolonial,
sampai zaman kemerdekaan, dalam prakteknya diperlakukan 3 (tiga) teori
penguasaan tanah yakni teori eropa, teori adat dan teori hukum nasional.
4.
Teori
Eropa merupakan penguasaan atas tanah berdasarkan pemikiran orang eropa, inti
dari teori ini adalah bahwa raja merupakan penguasa segala hal di negaranya
dengan semboyan “L’etat c’est Moi” atau Negara adalah Saya, teori
ini mencerminkan kekuasaan yang besar atas tanah. Raja dianggap sebagai wakil
negara dan pemilik tanah adalah negara. Teori ini juga berlaku di Inggris dan
Belanda. Pemerintah Hindia Belanda memberlakukan teori ini di Indonesia, yang
berarti bahwa semua tanah di Indonesia adalah milik raja dan dengan demikian
oleh karena raja takluk kepada pemerintahan kolonial, maka semua tanah di negara
jajahan dikonversi menjadi milik raja Belanda. Oleh karena itu pemerintah
Kolonial menganggap semua tanah yang ada di Indonesia adalah milik penguasa
kolonial. Dengan memberlakukan azas domein verklaring, dengan arti bahwa
semua tanah-tanah tidak dapat dibuktikan siapa pemiliknya adalah menjadi tanah
negara. Atas dasar teori ini maka pemerintah kolonial dapat menyewakan
tanah-tanah kepada perusahaan onderneming dengan skala besar.
5.
Teori
pemilikan tanah berdasarkan hukum adat adalah tanah merupakan milik komunal
atau persekutuan hukum (beschikkingsrecht). Dalam hal ini setiap anggota
persekutuan dapat mengerjakan tanah dengan jalan membuka tanah terlebih dahulu
dan jika mereka mengerjakan tanah tersebut secara terus-menerus maka tanah
tersebut dapat menjadi hak milik secara individual.
6.
Teori
hukum nasional yang dimaksudkan disini adalah hak penguasaan tanah yang
didasarkan kepada UUPA Nomor 5 Tahun 1960. Inti dari teori ini adalah bahwa penguasaan
negara atas tanah bukanlah berarti negara bisa bertindak sewenang-wenang atas
seluruh tanah yang ada di negara ini. Penguasaan negara ini dibatasi oleh
adanya hak individu dan hak persekutuan hukum adat terhadap tanah. Sehingga
tanah yang bisa dikuasai langsung oleh negara adalah tanah yang tidak terletak
padanya hak individu maupun hak ulayat. Tanah yang dikuasai langsung oleh
negara itu peruntukannya juga adalah untuk kemakmuran rakyat.
7.
Hukum
pertanahan Nasional yang berlaku saat ini bersumber dari hukum adat.
E.
Penutup
Undang-Undang
Pokok Agraria sebagai dasar hukum pertanahan Indonesia hari ini sebenarnya
sudah cukup bagus. Hal ini tidak terlepas dari konfigurasi politik yang terjadi
pada saat penyusunan UUPA tersebut. Dalam teori politik hukum, konfigurasi
politik pada suatu masa akan sangat berpengaruh terhadap karakter hukum yang
dihasilkan pada masa tersebut. Di dalam negara yang konfigurasi politiknya
demokratis, maka produk hukumnya akan berkarakter responsif/populistik,
sedangkan di negara yang konfigurasi politiknya otoriter, maka produk hukumnya
akan berkarakter ortodoks/konservatif/elitis.
UUPA diakui sudah cukup bagus, dimana substansi isinya sangat
aspiratif dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat, cuma yang menjadi masalah
saat ini adalah dalam hal penerapannya seringkali tidak sesuai dengan harapan
masayarakat ataupun substansi dari tujuan UUPA tersebut.
Banyaknya
muncul sengketa agraria bukanlah disebabkan kelemahan dari UUPA tersebut akan
tetapi disebabkan penerapannya secara penuh sulit karena kentalnya arogansi
sektoral berbagai pihak dan banyaknya tumpang tindih aturan dan ketentuan
menyangkut pertanahan. Untuk itu turunan dari UUPA tersebut barangkali perlu
ditinjau ulang disamping mental aparatur lembaga pertanahan Indonesia juga
perlu diperbaiki.
DAFTAR PUSTAKA
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan
Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan,
Jakarta, 1999.
Heru Kuswanto, Hukum Agraria, (Modul) Fakultas
Hukum Universitas Narotama, Surabaya, 2011
Imam Sutiknjo, Politik Agraria Nasional, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, 1994.
Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, PT.
Gunung Agung, Jakarta, 1983.
Soeprijadi, Reorganisasi Tanah serta Keresahan Petani dan
Bangsawan di Surakarta 1911-1940, Tesis, UGM, Yogyakarta, 1996
Syafruddin
Kalo, Perbedaan Persepsi Mengenai Penguasaan
Tanah dan Akibatnya Terhadap Masyarakat Petani di Sumatera Timur pada Masa
Kolonial yang Berlanjut pada Masa Kemerdekaan, Orde Baru dan Reformasi, Program Studi Hukum
Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa,
Jakarta, 1985.
Sunarjati Hartono, Kapita Selekta Perbandingan Hukum,
Alumni, Bandung, 1986.
Tampil Anshari Siregar, Pendaftaran Tanah Kepastian Hak,
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2011.
Tampil Anshari Siregar, Undang Undang Pokok Agraria dalam
Bagan, Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, Medan,
2011.
Umar Kusumo
Haryono, Eksistensi Tanah Kasultanan (Sultan Ground) Yogyakarta Setelah
Berlakunya UU No. 5 / 1960, Yustisia Edisi Nomor 68 Mei - Agustus
2006.
Liliz Nur
Faizah, Hak Menguasai Negara Suatu Pendekatan Historis-Filosofis,
(rangkuman dari Bab II tentang Hak Menguasai Negara, dalam skripsi ”Perkembangan
Konsep Kepentingan Umum dalam Hukum Pengambilalihan Hak atas Tanah di Indonesia
(1960-2006)” di Fakultas Hukum UGM Yogyakarta pada tahun 2007). http://zeilla.files.wordpress.com/2008/05/
hmn_filosofis.pdf.
Zuryawan Isvandiar Zoebir, Bayang-Bayang
Cultuurstelsel Dan Domein Verklaring Dalam Praktik Politik Agraria, http://zuryawanisvandiarzoebir.wordpress.com/2008/11/07/
bayang-bayang-cultuurstelsel-dan-domein-verklaring-dalam-praktik-politik-agraria/, (7
November 2008).
[1] Tampil Anshari
Siregar, Pendaftaran Tanah Kepastian Hak, Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, Medan, 2011 halaman 1.
[2] Ibid.
[3] Soerojo
Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, PT. Gunung
Agung, Jakarta, 1983 halaman 197.
[4] Soeprijadi, Reorganisasi
Tanah serta Keresahan Petani dan Bangsawan di Surakarta 1911-1940, Tesis,
UGM, Yogyakarta, 1996, halaman 1-2.
[5] Siregar, Pendaftaran
Tanah,Op.Cit. halaman 11.
[6]
Syafruddin Kalo, Perbedaan Persepsi Mengenai
Penguasaan Tanah dan Akibatnya Terhadap Masyarakat Petani di Sumatera Timur
pada Masa Kolonial yang Berlanjut pada Masa Kemerdekaan, Orde Baru dan
Reformasi, Program Studi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, t.t. halaman 3.
[7] Ibid,.
[8]
Umar Kusumo Haryono, Eksistensi Tanah Kasultanan (Sultan Ground)
Yogyakarta Setelah Berlakunya UU No. 5 / 1960, Yustisia Edisi Nomor
68 Mei - Agustus 2006, halaman 3.
[9] Kalo, Op.Cit.
halaman 7.
[10] Ibid, halaman
7.
[11] Ibid.
[12] Zuryawan
Isvandiar Zoebir, Bayang-Bayang
Cultuurstelsel Dan Domein Verklaring Dalam Praktik Politik Agraria, http://zuryawanisvandiarzoebir.wordpress.com/2008/11/07/
bayang-bayang-cultuurstelsel-dan-domein-verklaring-dalam-praktik-politik-agraria/, (7
November 2008).
[13] Heru Kuswanto,
Hukum Agraria, (Modul) Fakultas Hukum Universitas
Narotama, Surabaya, 2011, halaman 2.
[14] Loc.cit., halaman
7-8.
[15] Op.cit., halaman
2.
[16] Boedi Harsono,
Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria,
Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 1999, halaman 46.
[17] Kalo, Op.cit., halaman 9.
[18] Ibid.,
halaman 9-10.
[19] Wignjodipoero,
Op.Cit., halaman 198.
[20] ibid., halaman
199.
[21] Tampil Anshari Siregar, Undang Undang
Pokok Agraria dalam Bagan, Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas
Hukum USU, Medan, 2011. Halaman 20.
[22] Ibid., halaman
198.
[23] Kalo, Op.Cit.,
halaman 10.
[24] Siregar, Undang-Undang,
Op.Cit., halaman 20-21.
[25] Siregar, Undang-Undang.,
Op.Cit., halaman 21
[26] Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960, Pasal 2
[27] Liliz Nur Faizah, Hak Menguasai Negara
Suatu Pendekatan Historis-Filosofis, (rangkuman dari Bab II tentang Hak
Menguasai Negara, dalam skripsi ”Perkembangan Konsep Kepentingan Umum dalam
Hukum Pengambilalihan Hak atas Tanah di Indonesia (1960-2006)” di Fakultas
Hukum UGM Yogyakarta pada tahun 2007). http://zeilla.files.wordpress.com/2008/05/
hmn_filosofis.pdf. halaman 4.
[28] Subekti, Pokok-Pokok
Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1985, halaman 93.
[29] Kalo, Op.Cit.,
halaman 12.
[30] Sunarjati
Hartono, Kapita Selekta Perbandingan Hukum, Alumni, Bandung, 1986,
halaman 63.
[31] Imam Sutiknjo,
Politik Agraria Nasional, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, 1994, halaman 53.
[32] Mudjiono, Alternatif Penyelesaian Sengketa
Pertanahan di Indonesia Melalui Revitalisasi Fungsi Badan Peradilan, Jurnal
Hukum No. 3 Vol.14 Juli 2007, hal. 459.
[33]
Wignjodipoero, Op.Cit, hal. 200.
[34]
ibid.