Sabtu, 26 Mei 2012

PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DAN PENYELESAIANNYA


PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DAN PENYELESAIANNYA
Oleh : Agussalam Nasution

A.    Pendahuluan
Mewujudkan masyarakat adil dan makmur adalah salah satu tujuan Indonesia merdeka. Oleh karena itu negara mempunyai kewajiban untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya secara adil. Salah satu instrumen perwujudan keadilan dan kesejahteraan itu adalah hukum. Melalui hukum, negara berupaya mengatur hubungan-hubungan antara orang perorang atau antara orang dengan badan hukum. Pengaturan ini dimaksudkan supaya jangan ada penzaliman dari yang lebih kuat kepada yang lemah, sehingga tercipta keadilan dan ketentraman di tengah-tengah masyarakat.
Salah satu peraturan yang dibuat oleh pemerintah adalah peraturan yang mengatur hubungan seseorang di dunia kerja. Pakta menunjukkan bahwa banyak sekali orang yang bekerja pada orang lain ataupun bekerja pada perusahaan. Oleh sebab itu hubungan kerja antara seorang pekerja dengan majikannya atau antara pekerja dengan badan usaha perlu diatur sedemikian rupa supaya tidak terjadi kesewenang-wenangan yang bisa merugikan salah satu pihak.
Pemerintah telah menetapkan kebijakan dibidang ketenagakerjaan yang dirumuskan dalam UU No. 13 tahun 2003. Berdasarkan ketentuan pasal 2 UU No. 13 tahun 2003 pembangunan ketenagakerjaan berlandaskan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Oleh sebab itu pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan untuk mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, makmur dan merata baik materiil maupun spiritual.[1]
Salah satu permasalahan yang sering muncul dalam hubungan kerja adalah permasalahan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Berakhirnya hubungan kerja bagi tenaga kerja berarti kehilangan mata pencaharian yang berarti pula permulaan masa pengangguran dengan segala akibatnya, sehingga untuk menjamin kepastian dan ketentraman hidup tenaga kerja seharusnya tidak ada pemutusan hubungan kerja. Akan tetapi dalam kenyataannya membuktikan bahwa pemutusan hubungan kerja tidak dapat dicegah seluruhnya.[2] Makalah berikut ini akan memaparkan tentang PHK dan penyelesaiannya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

B.     Hubungan Kerja
Sebelum membicarakan tentang pemutusan hubungan kerja (PHK) ada baiknya dibicarakan terlebih dahulu tentang hubungan kerja, karena bagaimanapun juga PHK bisa timbul karena adanya hubungan kerja yang terjadi sebelumnya. Menurut  UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang dimaksud dengan hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.[3]
Dari defenisi tersebut dapat dipahami bahwa hubungan kerja dapat terjadi akibat adanya perjanjian kerja baik perjanjian itu dibuat secara tertulis maupun secara lisan. Menurut pasal 1 point 14 UU Ketenagakerjaan, yang dimaksud dengan perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja  yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. Sahnya perjanjian harus memenuhi syarat yang diatur secara khusus dalam UU Ketenagakerjaan, pada Pasal 52 ayat (1) UUK menyebutkan 4 dasar perjanjian kerja, yaitu:
1.      kesepakatan kedua belah pihak;
2.      kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
3.      adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
4.      pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Syarat 1 dan 2 disebut sebagai syarat subjektif yang apabila tidak dipenuhi maka perjanjian yang telah dibuat dapat dimintakan pembatalannya kepada pihak yang berwenang. Sedangkan syarat 3 dan 4 apabila tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut batal demi hukum, tidak sah sama sekali.
Dengan adanya hubungan kerja, maka pihak pekerja berhak atas upah sebagai imbalan dari pekerjaannya, sedangkan majikan/pengusaha berhak atas jasa/barang dari pekerjaan si pekerja tersebut sesuai dengan perjanjian kerja yang disepakati. Pemutusan hubungan kerja antara pekerja dan pengusaha tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang. Melainkan ada hal-hal tertentu yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak supaya PHK itu tidak mencederai rasa keadilan diantara kedua belah pihak. Berikut ini akan diuraikan tentang PHK dan penyelesaiannya.

C.    Pemutusan Hubungan Kerja
Menurut UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang dimaksud dengan pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.
Pemutusan bubungan kerja tidak boleh dilakukan secara sepihak dan sewenang-wenang, akan tetapi PHK hanya dapat dilakukan dengan alasan-alasan tertentu setelah diupayakan bahwa PHK tidak perlu terjadi. Dalam pasal 151 UU No. 13 Tahun 2003 dinyatakan sebagai berikut:
(1)   Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.
(2)   Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.
(3)   Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Berdasarkan ketentuan UU Ketengakerjaan tersebut, maka dapat dipahami bahwa PHK merupakan opsi terakhir dalam penyelamatan sebuah perusahaan. UU Ketenagakerjaan sendiri mengatur bahwa perusahaan tidak boleh seenakanya saja memPHK karyawannya, terkecuali karyawan/pekerja yang bersangkutan telah terbukti melakukan pelanggaran berat dan dinyatakan oleh pengadilan bahwa sipekerja dimaksud telah melakukan kesalahan berat yang mana putusan pengadilan dimaksud telah memiliki kekuatan hukum yang tetap. Hal ini sebagaimana di atur dalam  pasal  158 UU No. 13 Tahun 2003, yang menyebutkan sebagai berikut:
(1)      Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut :
a.    melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan;
b.    memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan;
c.    mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja;
d.   melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;
e.    menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;
f.     membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
g.    dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;
h.    dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
i.      membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau
j.      melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

Dalam pasal 158 ayat (2) juga disebutkan bahwa apabila pengusaha ingin melakukan PHK terhadap pekerjanya yang melakukan pelanggaran berat, maka pelanggaran berat tersebut harus bisa dibuktikan dengan 3 pembuktian berikut ini:
a.      pekerja/buruh tertangkap tangan,
b.    ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau
c.     bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
Pasal 158 ini telah dianulir oleh putusan Mahkamah Konstitusi No 012/PUU-1/2003 tanggal 28 Oktober 2004, karena  Dengan adanya ketentuan tersebut, telah terjadi pergeseran penilaian bersalah tidaknya pekerja, khususnya yang menyangkut perbuatan Pidana (kesalahan berat yang dituduhkan kepada pekerja pada dasarnya adalah menyangkut perbuatan tindak pidana) adalah merupakan kewenangan pengadilan, tetapi apabila memenuhi salah satu alat bukti diatas, pengusaha dapat mengadakan pemutusan hubungan kerja tanpa melalui ijin Panitia Daerah/Pusat atau penetapan. Sehingga pengusaha dalam hal ini telah menjalankan kewenangan pengadilan.[4]
Jadi perlu ditambahkan disini, bahwa PHK oleh pengusaha terhadap pekerja karena melakukan kesalahan berat sebagaimana dimaksud pada pasal 158 tsb hanya boleh dilakukan setelah adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap dari pengadilan bahwa sipekerja tersebut telah melakukan kesalahan berat. Hal ini karena pasal 158 yang mengatur tentang kesalahan berat sudah tidak digunakan lagi sebagai acuan dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 012/PUU-1/2003 tanggal 28 Oktober 2004 dan Surat Edaran Menakertrans No. 13/Men/SJ-HK/I/2005 tanggal 07 Januari 2005.
Berdasarkan putusan MK tersebut maka apabila buruh ditahan oleh pihak yang berwajib serta buruh tidak dapat melaksanakan pekerjaan sebagaimana mestinya maka berlaku ketentuan Pasal 160 UU No. 13 Tahun 2003.
Pasal 53 UU No. 13 Tahun 2003 juga menetapkan bahwa seorang pengusaha/perusahaan tidak boleh melakukan PHK terhadap karyawannya/pekerjanya hanya dengan alasan sebagai berikut:
a.       pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus;
b.      pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku;
c.       pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
d.      pekerja/buruh menikah;
e.       pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;
f.       pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama;
g.      pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
h.      pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwaji mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
i.        karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
j.        pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.


D.    Jenis PHK
           Dalam literature hukum ketenagakerjaan, dikenal adanya beberapa jenis pemutusan hubungan kerja (PHK), yakni[5] :
1.      PHK oleh majikan/pengusaha;
PHK ini bisa terjadi karena hal-hal sebagai berikut:
a.       PHK karena pekerja/buruh melakukan kesalahan berat (Pasal 158 ayat (4))
b.      PHK karena pekerja/buruh (setelah) ditahan pihak berwajib selama 6 (bulan) berturut-turut disebabkan melakukan tindak pidana di luar perusahaan (Pasal 160 ayat (3))
c.       PHK setelah melalui SP (surat peringatan) I, II, dan III (Pasal 161 ayat (3))
d.      PHK oleh pengusaha yang tidak bersedia lagi menerima pekerja/buruh (melanjutkan hubungan kerja) karena adanya perubahan status, penggabungan dan peleburan perusahaan (Pasal 163 ayat (2));
e.       PHK karena perusahaan tutup (likuidasi) yang disebabkan bukan karena perusahaan mengalami kerugian (Pasal 164 ayat (2)).
f.       PHK karena mangkir yang dikualifikasi mengundurkan diri (Pasal 168 ayat (3)).
g.      PHK atas pengaduan pekerja/buruh yang menuduh dan dilaporkan pengusaha (kepada pihak yang berwajib) melakukan "kesalahan" dan (ternyata) tidak benar (Pasal 169 ayat (3));
h.      PHK karena pengusaha (orang-perorangan) meninggal dunia (Pasal 61 ayat (4));

2.      PHK oleh pekerja/buruh;
PHK oleh pekerja/buruh bisa terjadi karena alasan sebagai berikut:
a.       PHK karena pekerja/buruh mengundurkan diri (Pasal 162 ayat (2));
b.      PHK karena pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja disebabkan adanya perubahan status, penggabungan, peleburan dan perubahan kepemilikan perusahaan ( Pasal 163 ayat (1));
c.       PHK atas permohonan pekerja/buruh kepada lembaga PPHI karena pengusaha melakukan "kesalahan" dan (ternyata) benar (Pasal 169 ayat (2)).
d.      PHK atas permohonan P/B karena sakit berkepanjangan, mengalami cacat (total-tetap) akibat kecelakaan kerja (Pasal 172).

3.      PHK demi hukum;
PHK demi hukum bisa terjadi dengan alasan/sebab sebagai berikut:
a.       PHK karena perusahaan tutup (likuidasi) yang disebabkan mengalami kerugian (Pasal 164 ayat (1)).
b.      PHK karena pekerja/buruh meninggal (Pasal 166) ;
c.       PHK karena memasuki usia pensiun (Pasal 167 ayat (5))
d.      PHK karena berakhirnya PKWT pertama (154 huruf b kalimat kedua)

4.      PHK oleh pengadilan (PPHI)
PHK oleh Pengadilan bisa terjadi dengan alasan/sebab:
a.       PHK karena perusahaan pailit (berdasarkan putusan Pengadilan Niaga) (Pasal 165);
b.      PHK terhadap anak yang tidak memenuhi syarat untuk bekerja yang digugat melalui lembaga PPHI (Pasal 68)
c.       PHK karena berakhirnya PK (154 huruf b kalimat kedua)

E.     Perselisihan PHK dan Penyelesaiannya
Perselisihan PHK termasuk kategori perselisihan hubungan industrial, Menurut Pasal 1 UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI), yang dimaksud dengan perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.
Adapun objek sengketa dari perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah mengenai sah atau tidak sahnya PHK dan besaran kompensasi yang timbul jika PHK tersebut terjadi.
Adapun mekanisme penyelesaian sengketa PHK adalah melalui jenjang penyelesaian sebagai berikut:
1.      Perundingan Bipartit
Perundingan Bipartit adalah forum perundingan dua kaki antar pengusaha dan pekerja atau serikatpe kerja. Kedua belah pihak diharapkan dapat mencapai kesepakatan dalam penyelesaian masalah mereka, sebagai langkah awal dalam penyelesaian perselisihan. Dalam perundingan ini, harus dibuat risalah yang ditandatangai para Pihak. isi risalah diatur dalam Pasal 6 Ayat 2 UU PPHI.
 Apabila tercapai kesepakatan maka Para pihak membuat Perjanjian Bersama yang mereka tandatangani. Kemudian Perjanjian Bersama ini didaftarkan pada PHI wilayah oleh para pihak ditempat Perjanjian Bersama dilakukan. Perlkunya menddaftarkan perjanjian bersama, ialah untuk menghindari kemungkinan slah satu pihak ingkar. Bila hal ini terjadi, pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi. Apabila gagal dicapai kesepakatan, maka pekerja dan pengusaha mungkin harus menghadapi prosedur penyelesaian yang panjang melalui Perundingan Tripartit.

2.      Perundingan Tripartit
Perundingan tripartit maksudnya adalah perundingan antara pekerja, pengusaha dengan melibatkan pihak ketiga sebagai fasilitator dalam penyelesaian perselisihan industrial diantara pengusaha dan pekerja. Perundingan tripartit bisa melalui mediasi, konsiliasi dan arbitrase.
a.       Mediasi
Forum Mediasi difasilitasi oleh institusi ketenagakerjaan. Dinas tenagakerja kemudian menunjuk mediator. Mediator berusaha mendamaikan para pihak, agar tercipta kesepakatan antar keduanya. Dalam hal tercipta kesepakatan para pihak membuta perjanjian bersama dengan disaksikan oleh mediator. Bila tidak dicapai
kesepakatan, mediator akan mengeluarkan anjuran.
b. Konsiliasi
Forum Konsiliasi dipimpin oleh konsiliator yang ditunjuk oleh para pihak. Seperti mediator, Konsiliator berusaha mendamaikan para pihak, agar tercipta kesepakatan antar keduanya. Bila tidak dicapai kesepakatan, Konsiliator juga mengeluarkan produk berupa anjuran.
c. Arbitrase
Lain dengan produk Mediasi dan Konsiliasi yang berupa anjuran dan tidak mengikat, putusan arbitrase mengikat para pihak. Satu-satunya langkah bagi pihak yang menolak putusan tersebut ialah permohonan Pembatalan ke Mahkamah Agung.
3. Pengadilan Hubungan Industrial
Pihak yang menolak anjuran mediator/konsiliator, dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Pengadilan ini untuk pertamakalinya didirikan di tiap ibukota provinsi. Nantinya, PHI juga akan didirikan di tiap kabupaten/ kota. Tugas pengadilan ini antara lain mengadili perkara perselisihan hubungan industrial, termasuk perselisihan PHK, serta menerima permohonan dan melakukan eksekusi terhadap Perjanjian Bersama yang dilanggar.
Selain mengadili Perselisihan PHK, Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) mengadili jenis perselisihan lainnya:
a.       Perselisihan yang timbul akibat adanya perselisihan hak;
b.      perselisihan kepentingan; dan
c.       perselisihan antar serikat pekerja.
4. Kasasi (Mahkamah Agung)
Pihak yang menolak Putusan PHI soal Perselisihan PHK dapat langsung mengajukan kasasi (tidak melalui banding) atas perkara tersebut ke Mahkamah Agung, untuk diputus.

F.     Kompensasi PHK
      Apabila PHK tidak dapat dicegah atau dihindari, maka pekerja yang di PHK oleh majikan sesuai dengan alasan yang mendasari terjadinya PHK akan mendapatkan uang pesangon, penghargaan masa kerja dan uang ganti kerugian. Kesemuanya itu dimaksudkan berfungsi sebagai jaminan pendapatan.[6]
            Berdasarkan pasal 156 ayat (2) dan ayat (3), maka besaran kompensasi bagi pekerja yang di PHK didasarkan atas perhitungan sebagai berikut:
Pasal 156
(1)      Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.

(2)      Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit sebagai berikut :
a.    masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
b.    masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah;
c.    masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
d.   masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah;
e.    masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;
f.     masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah;
g.    masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
h.    masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
i.      masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.

(3)   Perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)ditetapkan sebagai berikut :
a.    masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah;
b.    masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
c.    masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah;
d.   masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah;
e.    masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah;
f.     masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
g.    masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
h.    masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh ) bulan upah.

Adapun Uang penggantian hak yang seharusnya diterima berdasarkan pasal 156 ayat (4) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 meliputi :
1.      Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
2.      Biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja;
3.      Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja yang memenuhi syarat;
4.      Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.



G.    Penutup
Tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dibuat untuk menjamin terpeliharanya hak-hak buruh/pekerja dalam sebuah hubungan kerja, sehingga tidak terjadi penzaliman dari yang lebih kuat kepada yang lebih lemah. Kendati barangkalai perlindungan terhadap tenaga kerja belum maksimal bisa dilakukan oleh pemerintah namun kita mengapresiasi adanya aturan-aturan hukum yang bisa melindungi kepentingan para pekerja. Kita berharap kedepannya peraturan perundang-undangan yang dibuat semakin sempurna sehingga kesejahteraan dan perlindungan kepada para pekerja/buruh lebih dapat terpenuhi.












DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Keputusan Mahkamah Konstitusi RI, Perkara Nomor 012/PUU-1/2003.
Muzni Tambusai, Pelaksanaan Keputusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 2005.

Yuhari Robingu, Hak Normatif Pekerja Akibat Pemutusan Hubungan Kerja, ejournal.umm.ac.id/index.php/legality/article/view/291/303. (4 April 2012).
Umar Kasim, Hubungan Kerja dan Pemutusan Hubungan Kerja, Informasi Hukum Vol. 2 Tahun VI, 2004.

Asri Wijayanti, Perlindungan Hukum bagi Pekerja yang di PHK karena Melakukan Kesalahan Berat, http://boyyendratamin.blogspot.com/2012/03/perlindungan-hukum-bagi-pekerja-yang-di.html, (Jum’at, 30 Maret 2012)




[1] Asri Wijayanti, Perlindungan Hukum bagi Pekerja yang di PHK karena Melakukan Kesalahan Berat, http://boyyendratamin.blogspot.com/2012/03/perlindungan-hukum-bagi-pekerja-yang-di.html, (Jum’at, 30 Maret 2012)

[2] Yuhari Robingu, Hak Normatif Pekerja Akibat Pemutusan Hubungan Kerja, ejournal.umm.ac.id/index.php/legality/article/view/291/303. (4 April 2012).
[3] UU No. 13 Tahun 2003, Pasal 1 diktum 15.
[4] Muzni Tambusai, Pelaksanaan Keputusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 2 0 0 5, hal. 21


[5] Umar Kasim, Hubungan Kerja dan Pemutusan Hubungan Kerja, Informasi Hukum Vol. 2 Tahun VI, 2004. Hal. 8.
[6] Asri Wijayanti, Perlindungan Hukum bagi Pekerja yang di PHK karena Melakukan Kesalahan Berat, http://boyyendratamin.blogspot.com/2012/03/perlindungan-hukum-bagi-pekerja-yang-di.html, (Jum’at, 30 Maret 2012)

3 komentar:

  1. Bagaimana kalo yang masih dalam training 3 bulan,belum nyampe 1 bulan kerja sudah diputuskan hubungan kerja ,pemutusan hubungan kerja disebabkan karna uang gak ada di kantong buruh yang mau di tugaskan kesuatu tempat,,dengan cepatnya kordinator menyuruh buruh mengambil ijazahnya kekantor/memPHK buruh,,, TOLONG DONG PENJELASANNYA PAK,,???

    BalasHapus
  2. saya minta tolong bang, kami butuh copy-an asli Putusan MK No.012/PUU-1/2003 Keberadaan Pasal 158 yg ada rincian mengingat,menimbang,dan memutuskan.

    tolong kirim ke:
    GM: zhefas@gmail.com
    FP: fie carpediem

    BalasHapus
  3. adakah aturan yang melindungi pekerja dari tindakan pemberi kerja yg karena keberatan memberikan pesangon phk, melakukan kebijakan yang memaksa pekerja untuk memutuskan pengunduran diri? tks

    BalasHapus