PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DAN PENYELESAIANNYA
Oleh : Agussalam Nasution
A.
Pendahuluan
Mewujudkan masyarakat adil dan makmur adalah salah satu tujuan
Indonesia merdeka. Oleh karena itu negara mempunyai kewajiban untuk menciptakan
kesejahteraan bagi rakyatnya secara adil. Salah satu instrumen perwujudan
keadilan dan kesejahteraan itu adalah hukum. Melalui hukum, negara berupaya
mengatur hubungan-hubungan antara orang perorang atau antara orang dengan badan
hukum. Pengaturan ini dimaksudkan supaya jangan ada penzaliman dari yang lebih
kuat kepada yang lemah, sehingga tercipta keadilan dan ketentraman di
tengah-tengah masyarakat.
Salah satu peraturan yang dibuat oleh pemerintah adalah peraturan
yang mengatur hubungan seseorang di dunia kerja. Pakta menunjukkan bahwa banyak
sekali orang yang bekerja pada orang lain ataupun bekerja pada perusahaan. Oleh
sebab itu hubungan kerja antara seorang pekerja dengan majikannya atau antara
pekerja dengan badan usaha perlu diatur sedemikian rupa supaya tidak terjadi
kesewenang-wenangan yang bisa merugikan salah satu pihak.
Pemerintah telah menetapkan kebijakan dibidang
ketenagakerjaan yang dirumuskan dalam UU No. 13 tahun 2003. Berdasarkan
ketentuan pasal 2 UU No. 13 tahun 2003 pembangunan ketenagakerjaan berlandaskan
Pancasila dan Undang- Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Pembangunan
ketenagakerjaan dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia
seutuhnya. Oleh sebab itu pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan untuk
mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, makmur dan
merata baik materiil maupun spiritual.[1]
Salah satu permasalahan yang sering muncul dalam hubungan kerja
adalah permasalahan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Berakhirnya hubungan kerja
bagi tenaga kerja berarti kehilangan mata pencaharian yang berarti pula
permulaan masa pengangguran dengan segala akibatnya, sehingga untuk menjamin
kepastian dan ketentraman hidup tenaga kerja seharusnya tidak ada pemutusan
hubungan kerja. Akan tetapi dalam kenyataannya membuktikan bahwa pemutusan
hubungan kerja tidak dapat dicegah seluruhnya.[2]
Makalah berikut ini akan memaparkan tentang PHK dan penyelesaiannya menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
B.
Hubungan Kerja
Sebelum membicarakan tentang pemutusan hubungan kerja (PHK) ada
baiknya dibicarakan terlebih dahulu tentang hubungan kerja, karena bagaimanapun
juga PHK bisa timbul karena adanya hubungan kerja yang terjadi sebelumnya.
Menurut UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, yang dimaksud dengan hubungan kerja adalah hubungan antara
pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai
unsur pekerjaan, upah, dan perintah.[3]
Dari defenisi tersebut dapat dipahami bahwa hubungan kerja dapat
terjadi akibat adanya perjanjian kerja baik perjanjian itu dibuat secara
tertulis maupun secara lisan. Menurut pasal 1 point 14 UU Ketenagakerjaan, yang
dimaksud dengan perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan
pengusaha atau pemberi kerja yang memuat
syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. Sahnya perjanjian harus
memenuhi syarat yang diatur secara khusus dalam UU Ketenagakerjaan, pada Pasal
52 ayat (1) UUK menyebutkan 4 dasar perjanjian kerja, yaitu:
1.
kesepakatan
kedua belah pihak;
2.
kemampuan
atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
3.
adanya
pekerjaan yang diperjanjikan; dan
4.
pekerjaan
yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Syarat 1 dan 2 disebut sebagai
syarat subjektif yang apabila tidak dipenuhi maka perjanjian yang telah dibuat
dapat dimintakan pembatalannya kepada pihak yang berwenang. Sedangkan syarat 3
dan 4 apabila tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut batal demi hukum, tidak
sah sama sekali.
Dengan adanya hubungan kerja, maka
pihak pekerja berhak atas upah sebagai imbalan dari pekerjaannya, sedangkan
majikan/pengusaha berhak atas jasa/barang dari pekerjaan si pekerja tersebut
sesuai dengan perjanjian kerja yang disepakati. Pemutusan hubungan kerja antara
pekerja dan pengusaha tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang. Melainkan
ada hal-hal tertentu yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak supaya PHK itu
tidak mencederai rasa keadilan diantara kedua belah pihak. Berikut ini akan
diuraikan tentang PHK dan penyelesaiannya.
C.
Pemutusan Hubungan Kerja
Menurut UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, yang dimaksud dengan pemutusan hubungan kerja adalah
pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan
berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.
Pemutusan bubungan kerja tidak boleh
dilakukan secara sepihak dan sewenang-wenang, akan tetapi PHK hanya dapat
dilakukan dengan alasan-alasan tertentu setelah diupayakan bahwa PHK tidak
perlu terjadi. Dalam pasal 151 UU No. 13 Tahun 2003 dinyatakan sebagai berikut:
(1)
Pengusaha,
pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala
upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.
(2)
Dalam hal
segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat
dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh
pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila
pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat
buruh.
(3)
Dalam hal
perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan
persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan
pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial.
Berdasarkan
ketentuan UU Ketengakerjaan tersebut, maka dapat dipahami bahwa PHK merupakan
opsi terakhir dalam penyelamatan sebuah perusahaan. UU Ketenagakerjaan sendiri
mengatur bahwa perusahaan tidak boleh seenakanya saja memPHK karyawannya,
terkecuali karyawan/pekerja yang bersangkutan telah terbukti melakukan
pelanggaran berat dan dinyatakan oleh pengadilan bahwa sipekerja dimaksud telah
melakukan kesalahan berat yang mana putusan pengadilan dimaksud telah memiliki
kekuatan hukum yang tetap. Hal ini sebagaimana di atur dalam pasal
158 UU No. 13 Tahun 2003, yang menyebutkan sebagai berikut:
(1)
Pengusaha dapat
memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh
telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut :
a.
melakukan
penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan;
b.
memberikan
keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan;
c.
mabuk, meminum
minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika,
psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja;
d.
melakukan
perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;
e.
menyerang,
menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di
lingkungan kerja;
f.
membujuk teman
sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan;
g.
dengan ceroboh
atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik
perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;
h.
dengan ceroboh
atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di
tempat kerja;
i.
membongkar atau
membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk
kepentingan negara; atau
j.
melakukan
perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima)
tahun atau lebih.
Dalam pasal 158 ayat (2) juga disebutkan bahwa apabila pengusaha
ingin melakukan PHK terhadap pekerjanya yang melakukan pelanggaran berat, maka
pelanggaran berat tersebut harus bisa dibuktikan dengan 3 pembuktian berikut
ini:
a.
pekerja/buruh tertangkap tangan,
b.
ada
pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau
c.
bukti
lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan
yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
Pasal 158 ini telah dianulir oleh putusan Mahkamah Konstitusi No 012/PUU-1/2003 tanggal 28 Oktober 2004, karena Dengan adanya ketentuan
tersebut, telah terjadi pergeseran penilaian bersalah tidaknya pekerja,
khususnya yang menyangkut perbuatan Pidana (kesalahan berat yang dituduhkan
kepada pekerja pada dasarnya adalah menyangkut perbuatan tindak pidana) adalah
merupakan kewenangan pengadilan, tetapi apabila memenuhi salah satu alat bukti
diatas, pengusaha dapat mengadakan pemutusan hubungan kerja tanpa melalui ijin
Panitia Daerah/Pusat atau penetapan. Sehingga pengusaha dalam hal ini telah menjalankan
kewenangan pengadilan.[4]
Jadi perlu ditambahkan disini, bahwa PHK oleh pengusaha terhadap
pekerja karena melakukan kesalahan berat sebagaimana dimaksud pada pasal 158
tsb hanya boleh dilakukan setelah adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap
dari pengadilan bahwa sipekerja tersebut telah melakukan kesalahan berat. Hal
ini karena pasal 158 yang mengatur tentang kesalahan berat sudah tidak
digunakan lagi sebagai acuan dalam penyelesaian perselisihan hubungan
industrial berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 012/PUU-1/2003 tanggal 28
Oktober 2004 dan Surat Edaran Menakertrans No. 13/Men/SJ-HK/I/2005 tanggal 07
Januari 2005.
Berdasarkan putusan MK tersebut maka apabila buruh ditahan oleh pihak yang
berwajib serta buruh tidak dapat melaksanakan pekerjaan sebagaimana mestinya
maka berlaku ketentuan Pasal 160 UU No. 13 Tahun 2003.
Pasal 53 UU No. 13 Tahun 2003 juga menetapkan bahwa seorang
pengusaha/perusahaan tidak boleh melakukan PHK terhadap karyawannya/pekerjanya hanya
dengan alasan sebagai berikut:
a.
pekerja/buruh
berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu
tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus;
b.
pekerja/buruh
berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku;
c.
pekerja/buruh
menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
d.
pekerja/buruh
menikah;
e.
pekerja/buruh
perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;
f.
pekerja/buruh
mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh
lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama;
g.
pekerja/buruh
mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh,
pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam
kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan
ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerja bersama;
h.
pekerja/buruh
yang mengadukan pengusaha kepada yang berwaji mengenai perbuatan pengusaha yang
melakukan tindak pidana kejahatan;
i.
karena
perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin,
kondisi fisik, atau status perkawinan;
j.
pekerja/buruh
dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena
hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya
belum dapat dipastikan.
D. Jenis PHK
Dalam
literature hukum ketenagakerjaan, dikenal adanya beberapa jenis pemutusan hubungan kerja (PHK), yakni[5] :
1.
PHK
oleh majikan/pengusaha;
PHK ini bisa
terjadi karena hal-hal sebagai berikut:
a.
PHK karena pekerja/buruh melakukan kesalahan berat (Pasal
158 ayat (4))
b.
PHK karena
pekerja/buruh (setelah) ditahan pihak berwajib selama 6 (bulan) berturut-turut
disebabkan melakukan tindak pidana di luar perusahaan (Pasal 160 ayat (3))
c.
PHK setelah melalui SP (surat peringatan) I, II, dan III
(Pasal 161 ayat (3))
d.
PHK oleh
pengusaha yang tidak bersedia lagi menerima pekerja/buruh (melanjutkan hubungan
kerja) karena adanya perubahan status, penggabungan dan peleburan perusahaan
(Pasal 163 ayat (2));
e.
PHK karena perusahaan tutup (likuidasi) yang disebabkan
bukan karena perusahaan mengalami kerugian (Pasal 164 ayat (2)).
f.
PHK karena mangkir yang dikualifikasi mengundurkan diri
(Pasal 168 ayat (3)).
g.
PHK atas
pengaduan pekerja/buruh yang menuduh dan dilaporkan pengusaha (kepada pihak
yang berwajib) melakukan "kesalahan" dan (ternyata) tidak benar
(Pasal 169 ayat (3));
h.
PHK karena pengusaha (orang-perorangan) meninggal dunia
(Pasal 61 ayat (4));
2.
PHK
oleh pekerja/buruh;
PHK oleh
pekerja/buruh bisa terjadi karena alasan sebagai berikut:
a.
PHK karena pekerja/buruh mengundurkan diri (Pasal 162
ayat (2));
b.
PHK karena
pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja disebabkan adanya perubahan
status, penggabungan, peleburan dan perubahan kepemilikan perusahaan (
Pasal 163 ayat (1));
c.
PHK atas
permohonan pekerja/buruh kepada lembaga PPHI karena pengusaha melakukan
"kesalahan" dan (ternyata) benar (Pasal 169 ayat (2)).
d.
PHK atas
permohonan P/B karena sakit berkepanjangan, mengalami cacat (total-tetap)
akibat kecelakaan kerja (Pasal 172).
3.
PHK
demi hukum;
PHK
demi hukum bisa terjadi dengan alasan/sebab sebagai berikut:
a.
PHK karena
perusahaan tutup (likuidasi) yang disebabkan mengalami kerugian (Pasal 164 ayat
(1)).
b.
PHK karena pekerja/buruh meninggal (Pasal 166) ;
c.
PHK karena memasuki usia pensiun (Pasal 167 ayat (5))
d.
PHK karena berakhirnya PKWT pertama (154 huruf b kalimat
kedua)
4.
PHK
oleh pengadilan (PPHI)
PHK
oleh Pengadilan bisa terjadi dengan alasan/sebab:
a.
PHK karena perusahaan pailit (berdasarkan putusan
Pengadilan Niaga) (Pasal 165);
b.
PHK terhadap
anak yang tidak memenuhi syarat untuk bekerja yang digugat melalui lembaga PPHI
(Pasal 68)
c.
PHK karena berakhirnya PK (154 huruf b kalimat kedua)
E.
Perselisihan PHK dan Penyelesaiannya
Perselisihan PHK termasuk kategori perselisihan hubungan industrial,
Menurut Pasal 1 UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial (PPHI), yang dimaksud dengan perselisihan pemutusan hubungan kerja
adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat
mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.
Adapun objek sengketa dari perselisihan pemutusan hubungan kerja
adalah mengenai sah atau tidak sahnya PHK dan besaran kompensasi yang timbul
jika PHK tersebut terjadi.
Adapun mekanisme penyelesaian sengketa PHK adalah melalui jenjang
penyelesaian sebagai berikut:
1.
Perundingan
Bipartit
Perundingan Bipartit adalah forum perundingan dua kaki antar
pengusaha dan pekerja atau serikatpe kerja. Kedua belah pihak diharapkan dapat
mencapai kesepakatan dalam penyelesaian masalah mereka, sebagai langkah awal
dalam penyelesaian perselisihan. Dalam perundingan ini, harus dibuat risalah
yang ditandatangai para Pihak. isi risalah diatur dalam Pasal 6 Ayat 2 UU PPHI.
Apabila tercapai kesepakatan
maka Para pihak membuat Perjanjian Bersama yang mereka tandatangani. Kemudian
Perjanjian Bersama ini didaftarkan pada PHI wilayah oleh para pihak ditempat
Perjanjian Bersama dilakukan. Perlkunya menddaftarkan perjanjian bersama, ialah
untuk menghindari kemungkinan slah satu pihak ingkar. Bila hal ini terjadi,
pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi. Apabila gagal
dicapai kesepakatan, maka pekerja dan pengusaha mungkin harus menghadapi
prosedur penyelesaian yang panjang melalui Perundingan Tripartit.
2.
Perundingan
Tripartit
Perundingan
tripartit maksudnya adalah perundingan antara pekerja, pengusaha dengan
melibatkan pihak ketiga sebagai fasilitator dalam penyelesaian perselisihan
industrial diantara pengusaha dan pekerja. Perundingan tripartit bisa melalui
mediasi, konsiliasi dan arbitrase.
a.
Mediasi
Forum Mediasi difasilitasi oleh institusi ketenagakerjaan. Dinas
tenagakerja kemudian menunjuk mediator. Mediator berusaha mendamaikan para
pihak, agar tercipta kesepakatan antar keduanya. Dalam hal tercipta kesepakatan
para pihak membuta perjanjian bersama dengan disaksikan oleh mediator. Bila
tidak dicapai
kesepakatan, mediator akan mengeluarkan anjuran.
b. Konsiliasi
Forum Konsiliasi dipimpin oleh konsiliator yang ditunjuk oleh para
pihak. Seperti mediator, Konsiliator berusaha mendamaikan para pihak, agar
tercipta kesepakatan antar keduanya. Bila tidak dicapai kesepakatan,
Konsiliator juga mengeluarkan produk berupa anjuran.
c. Arbitrase
Lain dengan produk Mediasi dan Konsiliasi yang berupa anjuran dan
tidak mengikat, putusan arbitrase mengikat para pihak. Satu-satunya langkah
bagi pihak yang menolak putusan tersebut ialah permohonan Pembatalan ke
Mahkamah Agung.
3. Pengadilan Hubungan Industrial
Pihak yang menolak anjuran mediator/konsiliator, dapat mengajukan
gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Pengadilan ini untuk
pertamakalinya didirikan di tiap ibukota provinsi. Nantinya, PHI juga akan
didirikan di tiap kabupaten/ kota. Tugas pengadilan ini antara lain mengadili
perkara perselisihan hubungan industrial, termasuk perselisihan PHK, serta menerima
permohonan dan melakukan eksekusi terhadap Perjanjian Bersama yang dilanggar.
Selain mengadili Perselisihan PHK, Pengadilan Hubungan Industrial
(PHI) mengadili jenis perselisihan lainnya:
a.
Perselisihan
yang timbul akibat adanya perselisihan hak;
b.
perselisihan
kepentingan; dan
c.
perselisihan
antar serikat pekerja.
4. Kasasi (Mahkamah Agung)
Pihak yang menolak Putusan PHI soal Perselisihan PHK dapat langsung
mengajukan kasasi (tidak melalui banding) atas perkara tersebut ke Mahkamah
Agung, untuk diputus.
F.
Kompensasi PHK
Apabila PHK tidak dapat dicegah
atau dihindari, maka pekerja yang di PHK oleh majikan sesuai dengan alasan yang
mendasari terjadinya PHK akan mendapatkan uang pesangon, penghargaan masa kerja
dan uang ganti kerugian. Kesemuanya itu dimaksudkan berfungsi sebagai jaminan
pendapatan.[6]
Berdasarkan pasal
156 ayat (2) dan ayat (3), maka besaran kompensasi bagi pekerja yang di PHK
didasarkan atas perhitungan sebagai berikut:
Pasal 156
(1)
Dalam hal
terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon
dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya
diterima.
(2)
Perhitungan
uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit sebagai
berikut :
a.
masa kerja
kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
b.
masa kerja 1
(satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah;
c.
masa kerja 2
(dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
d.
masa kerja 3
(tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan
upah;
e.
masa kerja 4
(empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan
upah;
f.
masa kerja 5
(lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan
upah;
g.
masa kerja 6
(enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan
upah;
h.
masa kerja 7
(tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan)
bulan upah;
i.
masa kerja 8
(delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.
(3)
Perhitungan uang
penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)ditetapkan sebagai
berikut :
a.
masa kerja 3
(tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah;
b.
masa kerja 6
(enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan
upah;
c.
masa kerja 9
(sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat)
bulan upah;
d.
masa kerja 12
(dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima)
bulan upah;
e.
masa kerja 15
(lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6
(enam) bulan upah;
f.
masa kerja 18
(delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun,
7 (tujuh) bulan upah;
g.
masa kerja 21
(dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat)
tahun, 8 (delapan) bulan upah;
h.
masa kerja 24
(dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh ) bulan upah.
Adapun Uang penggantian hak yang seharusnya diterima
berdasarkan pasal 156 ayat (4) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 meliputi :
1.
Cuti tahunan yang belum diambil
dan belum gugur;
2.
Biaya atau ongkos pulang untuk
pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja;
3.
Penggantian perumahan serta
pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% dari uang pesangon dan/atau uang
penghargaan masa kerja yang memenuhi syarat;
4.
Hal-hal lain yang ditetapkan
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
G.
Penutup
Tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting
sebagai pelaku dan tujuan pembangunan. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
dibuat untuk menjamin terpeliharanya hak-hak buruh/pekerja dalam sebuah
hubungan kerja, sehingga tidak terjadi penzaliman dari yang lebih kuat kepada
yang lebih lemah. Kendati barangkalai perlindungan terhadap tenaga kerja belum
maksimal bisa dilakukan oleh pemerintah namun kita mengapresiasi adanya
aturan-aturan hukum yang bisa melindungi kepentingan para pekerja. Kita
berharap kedepannya peraturan perundang-undangan yang dibuat semakin sempurna
sehingga kesejahteraan dan perlindungan kepada para pekerja/buruh lebih dapat
terpenuhi.
DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Keputusan Mahkamah Konstitusi RI, Perkara Nomor 012/PUU-1/2003.
Muzni
Tambusai, Pelaksanaan Keputusan Mahkamah
Konstitusi Terhadap Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 2005.
Yuhari Robingu, Hak Normatif Pekerja Akibat Pemutusan Hubungan Kerja, ejournal.umm.ac.id/index.php/legality/article/view/291/303. (4 April 2012).
Umar Kasim, Hubungan Kerja dan Pemutusan Hubungan Kerja, Informasi Hukum Vol. 2 Tahun VI, 2004.
Asri Wijayanti, Perlindungan Hukum bagi Pekerja yang di PHK
karena Melakukan Kesalahan Berat, http://boyyendratamin.blogspot.com/2012/03/perlindungan-hukum-bagi-pekerja-yang-di.html,
(Jum’at, 30 Maret 2012)
[1] Asri
Wijayanti, Perlindungan Hukum bagi Pekerja yang di PHK karena Melakukan
Kesalahan Berat, http://boyyendratamin.blogspot.com/2012/03/perlindungan-hukum-bagi-pekerja-yang-di.html, (Jum’at, 30
Maret 2012)
[2] Yuhari Robingu, Hak Normatif Pekerja Akibat Pemutusan Hubungan Kerja, ejournal.umm.ac.id/index.php/legality/article/view/291/303. (4 April 2012).
[3] UU No. 13
Tahun 2003, Pasal 1 diktum 15.
[4]
Muzni Tambusai, Pelaksanaan Keputusan Mahkamah
Konstitusi Terhadap Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 2 0 0 5, hal. 21
[5] Umar Kasim, Hubungan
Kerja dan Pemutusan Hubungan Kerja, Informasi Hukum Vol. 2 Tahun VI, 2004. Hal. 8.
[6] Asri
Wijayanti, Perlindungan Hukum bagi Pekerja yang di PHK karena Melakukan
Kesalahan Berat, http://boyyendratamin.blogspot.com/2012/03/perlindungan-hukum-bagi-pekerja-yang-di.html, (Jum’at, 30
Maret 2012)
Bagaimana kalo yang masih dalam training 3 bulan,belum nyampe 1 bulan kerja sudah diputuskan hubungan kerja ,pemutusan hubungan kerja disebabkan karna uang gak ada di kantong buruh yang mau di tugaskan kesuatu tempat,,dengan cepatnya kordinator menyuruh buruh mengambil ijazahnya kekantor/memPHK buruh,,, TOLONG DONG PENJELASANNYA PAK,,???
BalasHapussaya minta tolong bang, kami butuh copy-an asli Putusan MK No.012/PUU-1/2003 Keberadaan Pasal 158 yg ada rincian mengingat,menimbang,dan memutuskan.
BalasHapustolong kirim ke:
GM: zhefas@gmail.com
FP: fie carpediem
adakah aturan yang melindungi pekerja dari tindakan pemberi kerja yg karena keberatan memberikan pesangon phk, melakukan kebijakan yang memaksa pekerja untuk memutuskan pengunduran diri? tks
BalasHapus