Sabtu, 26 Mei 2012

Teori Hukum Pertanahan yang Pernah Berlaku di Indonesia


TEORI HUKUM PERTANAHAN
YANG PERNAH BERLAKU DI INDONESIA


MAKALAH
HUKUM AGRARIA

Oleh
AGUSSALAM NASUTION
NPM. 0920010050




PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA
MEDAN
2012



TEORI HUKUM PERTANAHAN
YANG PERNAH BERLAKU DI INDONESIA
Oleh: Agussalam Nasution

A.    Pendahuluan
Tanah mempunyai arti penting dalam kehidupan manusia. Dalam ajaran agama Islam diyakini bahwa manusia sendiri berasal dari tanah dan akan kembali ke tanah. Dalam kehidupan manusia sehari-hari tidak sedikit terjadi pertumpahan darah yang disebabkan oleh sengketa kepemilikan tanah, bahkan satu keluarga terkadang bisa retak akibat persengketaan tanah. “Di masyarakat  hukum etinis Jawa terkenal filosofi yang menyatkan sedumuk batuk senyari bumi, yen perlu ditohi pati (biar sejengkal tanah miliknya bila perlu dipertahankan sampai mati)”[1]
Tanah memang menjadi salah satu sumber utama kehidupan manusia. Buah-buahan dan tumbuh-tumbuhan yang dikonsumsi manusia adalah hasil dari tanah baik itu tanah persawahan maupun perkebunanan. Intinya manusia dalam kehidupannya tidak bisa terlepas dari tanah, karena manusia hidup dan beraktifitas di atas tanah. Dalam hal ini masyarakat hukum etnis Batak menyatakan tanah sebagai ulos na sora buruk (kain yang tak akan pernah lapuk).[2]
Menurut Soerojo Wignjodipoero[3] ada dua hal yang menyebabkan tanah itu memiliki kedudukan yang sangat penting dalam hukum adat, yaitu pertama, karena sifatnya, dimana tanah merupakan satu-satunya benda kekayaan yang meskipun mengalami keadaan yang bagaimanapun juga, toh masih bersifat tetap dalam keadaannya, bahkan terkadang semakin lama harganya bisa semakin mahal. Kedua, karena fakta bahwa tanah merupakan tempat tinggal persekutuan, bisa memberikan penghidupan kepada persekutuan, tempat dimana para warga persekutuan yang meninggal dunia dikebumikan, serta tempat tinggal dayang-dayang pelindung persekutuan dan roh leluhur persekutuan.
Pada zaman dahulu ketika penduduk bumi masih jarang manusia bebas mengusahai tanah yang dianggapnya subur untuk bercocok tanam dan beraktifitas. Seiring dengan perkembangan zaman, pada masa pemerintahan kerajaan-kerajaan dahulu di nusantara rakyat juga bebas membuka lahan dan mengusahai tanahnya atas seizin dari raja/sultan. Pada masa itu sultan/raja memang memilki otoritas yang relatif besar atas tanah. Menurut Soemarsaid Martono sebagaimana dikutip oleh Soeprijadi, “raja mempunyai dua hak atas tanah. pertama, berupa hak politik atau hak publik yang mengatur dan menetapkan masalah luas daerah dan batas-batas kekuasaannya. Kedua, adalah hak untuk mengatur hasil tanah sesuai dengan adat.”[4]
Seiring dengan perkembangan zaman dan masuknya pengaruh-pengaruh asing terhadap tatanan kehidupan masyarakat adat, penguasaan atas tanah dinusantara juga mulai berubah. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Siregar sebagai berikut:
Menurut konsep hukum adat awalnya semua tanah adalah milik raja yang kemudian kepada rakyat diberi hak menggunakan atau memakainya. Tetapi selanjutnya hal itu mengalami perubahan sejalan dengan masuknya hukum-hukum lain lewat penjajahan kolonial dan masuknya agama yang nilai-nilainya diresepsi (diterima) oleh hukum adat sehingga kebebasan para anggota masyarakat untuk membuka dan mempergunakan tanah tersebut semakin bebas.[5]

Dalam sejarah hukum pertanahan di Indonesia, dikenal adanya tiga teori hukum pertanahan yang pernah berlaku, penerapan hukum ini dipengaruhi oleh politik hukum pertanahan dari pemerintahan yang pernah berkuasa. Makalah ini ditujukan untuk menguraikan secara singkat tentang ketiga teori hukum pertanahan yang pernah berlaku tersebut.

B.     Pembahasan (Teori Hukum Pertanahan yang Pernah Berlaku di Indonesia)
“Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” demikian bunyi pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Berdasarkan bunyi pasal 33 tersebut dapat dipahami bahwa segala tanah air Indonesia berada di bawah kekuasaan negara, dan sebagai konskwensinya negara berkewajiban untuk mempergunakan tanah air tersebut bagi kemakmuran rakyatnya.
Tanah memang menjadi hal penting dalam kehidupan manusia, untuk itu penting diatur keberadaannya, dan negara sebagai penguasa tanah bertanggungjawab untuk membuat peraturan tentang pertanahan tersebut. maka setelah Indonesia merdeka dan situasi politik agak normal, pada tanggal 24 September 1960 disusunlah UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang kemudian dikenal dengan Undang Undang Pokok Agraria (UUPA).
UUPA sebagai turunan dari pasal 33 ayat 3 UUD 1945 mengandung asas (prinsip) bahwa semua hak atas tanah dikuasi oleh negara, dan asas bahwa hak milik atas tanah “dapat dicabut untuk kepentingan umum”. prinsip ini tertuang dalam pasal 2 dan pasal 18 UUPA. Berdasarkan pasal 2 UUPA ini negara menjadi pengganti semua pihak yang mengaku sebagai penguasa tanah yang sah. Negara dalam hal ini merupakan lembaga hukum sebagai organisasi seluruh rakyat Indonesia. Pemerintah sebagai lembaga pelaksana UU negara dalam proses ini bertindak sebagai pihak yang melaksanakan dan menerapkan ketentuan yang terdapat dalam pasal 2 UUPA tersebut.[6]
Dengan demikian Menurut Syafruddin Kalo, “pemerintah menjadi pihak yang wajib dan berwenang mengatasi dan menengahi sengketa hak penguasaan atas tanah yang muncul sekaligus menjadi fasilitator bagi pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa”.[7]  Kewenangan keagrariaan ada pada pemerintah pusat namun, pada pelaksanaannya dapat dilimpahkan pada pemerintah daerah ataupun kepada persekutuan masyarakat hukum adat.[8]
Status kepemilikan tanah sering menjadi muasal dari perselisihan di Indonesia, yang barangkali disebakan oleh tidak adanya ketegasan penyelenggara negara mengenai kepemilikan ini. Untuk itu berikut ini akan dikemukakan mengenai teori kepemilikan/penguasaan tanah di Indonesia.
Dalam sejarah hukum pertanahan di Indonesia sejak zaman kesultanan, zaman kolonial, sampai zaman kemerdekaan, dalam prakteknya diperlakukan 3 (tiga) teori penguasaan tanah yakni teori eropa, teori adat dan teori hukum nasional.[9] Ketiga teori ini silih berganti diterapkan di Indonesia sesuai dengan zamannya masing-masing.

B.1 Teori Eropa.
Teori Eropa merupakan penguasaan atas tanah berdasarkan pemikiran orang eropa. Sebagaimana diketahui, bahwa pada masa lalu wilayah nusantara pernah menjadi bahagian dari wilayah kekuasaan bangsa eropa sehingga hukum pertanahan yang diterapkan oleh penguasa eropa tersebut dipengaruhi oleh pemikiran orang eropa. Sejarah eropa telah mencatat bahwa sebelum terjadinya Revolusi Prancis, di Eropa berlaku doktrin bahwa raja adalah wakil Tuhan di bumi, sehingga pada masa itu raja-raja di eropa memiliki kekuasaan yang sangat tinggi untuk mengatur negaranya, bahkan raja dianggap berkuasa atas segala hal, raja adalah penguasa negara dan raja pula berkuasa atas tanah-tanah di negaranya.
Seiring dengan berkuasanya bangsa-bangsa eropa di Indonesia, maka pemikiran bahwa raja adalah penguasa mutlak atas tanah negara diberlakukan juga di Indonesia oleh penguasa bangsa eropa tersebut. dalam hal ini Kalo mencatat sebagai berikut:
Di Eropa sebelum masa Revolusi Perancis berlaku doktrin bahwa raja adalah penguasa segala hal di negaranya dengan semboyan “L’etat c’est Moi” atau Negara adalah Saya, teori ini mencerminkan kekuasaan yang besar atas tanah. Raja dianggap sebagai wakil negara dan pemilik tanah adalah negara. Teori ini juga berlaku di Inggris dan Belanda. Indonesia sebagai negara jajahan Belanda memberlakukan teori ini di Indonesia, yang berarti bahwa semua tanah di Indonesia adalah milik raja dan dengan demikian oleh karena raja takluk kepada pemerintahan kolonial, maka semua tanah di negara jajahan dikonversi menjadi milik raja Belanda. Oleh karena itu pemerintah Kolonial menganggap semua tanah yang ada di Indonesia adalah milik penguasa kolonial. Dengan memberlakukan azas domein verklaring, dengan arti bahwa semua tanah-tanah tidak dapat dibuktikan siapa pemiliknya adalah menjadi tanah negara. Atas dasar teori ini maka pemerintah kolonial dapat menyewakan tanah-tanah kepada perusahaan onderneming dengan skala besar.[10]

Kebijakan pemberlakuan teori domein verklaring didasari atas alasan-alasan karena pemerintah Belanda menganggap raja-raja di Indonesia yang mempunyai kekuasaan hak domein atas tanah maka dengan sendirinya hak domein itu juga diambil over oleh Belanda karena Belanda memegang kedaulatan di Indonesia. [11] Teori ini sengaja diterapkan agar pemerintah Hindia Belanda dapat memiliki tanah-tanah rakyat indonesia yang pada waktu hampir seluruhnya masih menerapkan sistem hukum adat. Karena pemilikan atas tanah berdasarkan sistem adat tidak ada satupun yang menyamai hak eigendom.[12]
Dasar hukum pemberlakuan domein verklaring oleh pemerintah Hindia Belanda di dasarkan kepada Agrarische Wet (staatblad 1870 nomor 118) yang terkait dengan Agrarische Wet (staatblad 1870 nomor 55). Pasal 1 Agrarische Besluit menetukan bahwa terhadap tanah-tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya akan menjadi milik negara.[13]
Kebijakan pemerintah Belanda dalam memperlakukan teori domein verklaring ini sangat merugikan rakyat karena domein diperlakukan di atas tanah rakyat dan memungkinkan tanah-tanah hak ulayat diberikan kepada orang asing dengan hak sewa (erfacht).[14]  Dalam hal ini ada dua hal penting yang terkait dengan domein verklaring, yaitu:
a.       Hubungan antara negara dengan tanah dipersamakan dengan hubungan antara tanah dengan perseorangan yang bersifat privaattreefhtelijk.
b.      Domein verklaring tidak lebih ditujukan terhadap tanah yang tunduk pada hukum adat, mengingat dalam sistem hukum adat tidak dikenal dengan sistem pembuktian kepemilikan secara tertulis seperti yang dikenal dalam hukum barat.[15]

Berdasarkan teori domein verklaring, ini maka tanah-tanah adat dianggap sebagai milik negara. Akibatnya pemerintahan negara menganggap negara berwenang untuk memberikan hak erfphacht kepada investor untuk mengusahai tanah-tanah adat tersebut, demikian juga para investor merasa sah untuk menguasai dan mengusahai tanah-tanah tersebut. Di sisi lain anggota masyarakat hukum adat merasa bahwa tanah-tanah tersebut masih merupakan milik mereka karena memang anggota-anggota masayarakat tersebut tidak pernah melepaskan haknya atas tanah-tanah adatnya itu.
Pemberlakuan teori domein ini jelas sangat merugikan rakyat pribumi (masyarakat hukum adat) karena akibat dari pemberlakuan teori tersebut maka tanah adat (ulayat) yang meskipun menurut kenyataannya masih ada dan ditaati oleh masyarakat hukum adat, tidak diakui lagi keberadaannya, karena tanah tersebut telah dikategorikan sebagai domein negara, yaitu tanah negara bebas (vrij lands domein).[16]





B.2 Teori Adat
Teori pemilikan tanah berdasarkan hukum adat adalah tanah merupakan milik komunal atau persekutuan hukum (beschikkingsrecht). Dalam hal ini setiap anggota persekutuan dapat mengerjakan tanah dengan jalan membuka tanah terlebih dahulu dan jika mereka mengerjakan tanah tersebut secara terus-menerus maka tanah tersebut dapat menjadi hak milik secara individual.[17]
Tentang pemilikan tanah adat ini, Ter Haar sebagaimana dikutip oleh Kalo menjelaskan sebagai berikut:
Hukum adat memberikan hak terdahulu kepada orang yang dulu menaruh tanda pelarangannya atau mula-mula membuka tanah; bilama ia tidak mengerjakan pekerjaan-pekerjaan penebangan dan pembakaran menurut musimnya, maka orang lain bisa mendesaknya supaya memilih: mengerjakan terus atau menyerahkan tanahnya kepadanya. Jadi tuntutan pemilikan hak milik ini lenyap sama sekali bilamana ada lain orang sesama anggota yang menginginkannya dan mendesak dia memilih satu antara kedua pilihan itu.[18]

Menurut Wignjodipoero, hak persekutuan  atas tanah ini disebut juga hak pertuanan atau hak ulayat,  sementara Van Vollenhoven menyebutnya dengan istilah bescikkingsrecht.[19] Lebih lanjut Wignjodipoero mengatakan bahwa “hak ulayat ini dalam bentuk dasarnya adalah suatu hak daripada persekutuan atas tanah yang didiami, sedangkan pelaksanaannya dilakukan atau oleh persekutuan itu sendiri atau oleh kepala persekutuan atas nama persekutuan.”[20] Dalam hal ini pengertian hak ulayat disebutkan sebagai berikut:
Hak ulayat adalah hak suatu masyarakat hukum adat untuk menguasai tanah yang masih merupakan hutan belukar di dalam wilayahnya untuk kepentingan masayarakat hukum itu sendiri dengan para anggotanya atau untuk kepentingan orang luar masyarakat hukum itu dengan membayar uang pengakuan yang disebut atau bisa disamakan dengan recognitie.[21]

Sebagai tanah ulayat persekutuan hukum adat, maka pada prinsipnya hanya anggota masyarakat hukum adat (persekutuan) itu sendiri yang boleh menggarap tanah ulayat tersebut. dalam hal ini  Wignjodiopero menjelaskan sebagai berikut:
Beschikkingsrechts atapun hak ulayat ini berlaku ke luar dan ke dalam. Berlaku ke luar karena bukan warga persekutuan pada prinsipnya tidak diperbolehkan turut mengenyam/menggarap tanah yang merupakan wilayah kekuasaan persekutuan yang bersangkutan; hanya dengan seizin persekutuan serta setelah membayar pancang (uang pemasukan) dan kemudian memberikan ganti rugi, orang luar bukan warga persekutuan dapat memperoleh kesempatan  untuk turut serta menggunakan tanah wilayah persekutuan.
Berlaku ke dalam karena persekutuan sebagai suatu keseluruhan yang berarti semua warga persekutuan bersama-sama sebagai suatu kesatuan, melakukan hak ulayat dimaksud dengan memetik hasil daripada tanah beserta segala tumbuh-tumbuhan dan binatang liar yang hidup atasnya.[22]

            Adapun mengani luas wilayah tanah ulayat ini, Erman Rajagukguk sebagaiman dikutip oleh Kalo mengatakan sebagai berikut:
Semua tanah, hutan, jika perlu sampai ke puncak gunung, jika penduduk mempunyai hak baik yang nyata maupun yang secara diam-diam diakui, tanah itu bukan tanah negara. Menurut hukum adat, desa mempunyai hak untuk menguasai tanah di luar perbatasan desa, penduduk desa mempunyai hak untuk menggarap atau mencari nafkah dari hutan dengan izin kepala desa. Menurut penafsiran Trenite, tanah tersebut milik negara, namun menurut pandangan Van Vollenhoven, Logeman dan Ter Haar tanah tersebut tidak di bawah kekuasaan negara. [23]

Lebih jelasnya tentang hak ulayat ini, Siregar menguraikan ciri-ciri hak ulayat sebagai berikut:
1)      Masyarakat hukum dan para anggota-anggotanya berhak untuk dapat mempergunakan tanah hutan belukar di dalam lingkungan wilayahnya dengan bebas, yaitu bebas untuk membuka tanah, memungut hasil, berburu, mengambil ikan menggembala ternak dan lain sebagainya.
2)      Bukan anggota masyarakat hukum dapat pula mempergunakan hak-hak tersebut hanya saja harus mendapat izin terlebih dahulu dari kepala masyarakat hukum dan membayar uang pengakuan atau recognite (diakui setelah memenuhi kewajibannya).
3)      Masyarakat hukum beratnggungjawab atas kejahatan-kejahatan yang terjadi dalam lingkungan wilayahnya apabila pelakunya tidak dapat dikenal.
4)      Masyarakat hukum tidak dapat menjual atau mengalihkan hak ulayat untuk selama-lamanya kepada siapa saja.
5)      Masyarakat hukum mempunyai hak campur tangan terhadap tanah-tanah yang digarap dan dimiliki oleh para anggota-anggotanya seperti dalam hal jual beli tanah dan sebagainya.[24]

Van Vollenhoven sebagaimana dikutip oleh Siregar mengatakan bahwa hak milik bumi putera (Inlands bezitrecht) terbagi kepada dua macam yaitu:
1)      Communaal bezitrecht (hak milik komunal) bila hak itu ada pada masyarakat hukum.
2)      Ervelijk individueel bezitrecht (hak milik perorangan) bila hak milik itu ada pada anggota masyarakat hukum secara perorangan.[25]
Berdasarkan teori ini maka hak-hak individual dan persekutuan terhadap tanah dan tetap diakui keberadannya yang mana hak itu diwariskan secara turun temurun terhadap anggota keturunan masyarakat persekutuan yang mengikatkan dirinya terhadap persekutuan adat tersebut.

B.3 Teori Hukum Nasional
Teori hukum nasional yang dimaksudkan disini adalah hak penguasaan tanah yang didasarkan kepada UUPA Nomor 5 Tahun 1960. Dalam hal ini Hak penguasaan tanah yang berlaku secara yuridis di Indonesia tertuang dalam pasal 2 UUPA:
                           (1)            Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar  dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu, pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi seluruh rakyat.
                           (2)            Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk :
a.       mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b.      menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa.
                           (3)            Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut pada ayat 2 pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara Hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.
                           (4)            Hak menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada Daerah-daerah Swastantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menuntut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.[26]

Dengan berlakunya UUPA maka peraturan-peraturan pertanahan yang merupakan produk pemerintahan Hindia Belanda seperti Agrarische Wet, Agrarische Besluit, dan Buku II BW yang menagtur tentang pertanahan menjadi tidak berlaku lagi, karena memang UUPA dimaksudkan sebagai pengganti dari ketentuan-ketentuan pertanahan produk pemerintah Hindia Belanda yang terkesan imprealistik, kapitalistik dan feodalistik. Tentang kelahiran UUPA dalam semangat anti imprealistik, kapitalistik dan feodalistik ini Boedi Harsono sebagaimana dikutip Liliz Nur Faizah mencatat sebagai berikut:
UUPA sendiri lahir dalam konteks “...perjuangan perombakan hukum agraria nasional berjalan erat dengan sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari cengkraman, pengaruh, dan sisa-sisa penjajahan; khususnya perjuangan rakyat tani untuk membebaskan diri dari kekangan-kekangan sistem feodal atas tanah dan pemerasan kaum modal asing...”
Semangat menentang strategi kapitalisme dan kolonialisme yang telah menyebabkan terjadinya “penghisapan manusia atas manusia” (exploitation de l’homme par l’homme) di satu sisi; dan sekaligus menentang strategi sosialisme yang dianggap “meniadakan hak-hak individual atas tanah” di sisi lain menjadi landasan ideologis dan filosofis pembentukan UUPA. Selain itu, salah satu arti penting UUPA lainnya, bahwa hukum agraria nasional adalah berdasar hukum adat dan tidak lepas dari konteks landreform yang menjadi agenda pokok pembentukan struktur agraria saat itu.[27]

Menurut Subekti,[28] UUPA dimaksudkan untuk mengadakan Hukum Agraria Nasiona yang berdasarkan hukum adat tentang tanah, dengan kelahiran UUPA maka tercapailah suatu keseragaman menganai hukum tanah, sehingga tidak ada lagi hak atas tanah menurut hukum Barat disamping hak atas tanah menurut hukum adat.
Hal penting tentang penguasaan tanah dalam UUPA adalah ditegaskannya hak pengusaan negara terhadap tanah, akan tetapi kendati negara diakui sebagai penguasa atas tanah bukanlah berarti negara bisa bertindak sewenang-wenang atas seluruh tanah yang ada di negara ini. Penguasaan negara ini dibatasi oleh adanya hak individu dan hak persekutuan hukum adat terhadap tanah. Dalam hal ini Kalo menjelaskan sebagai berikut:
Kekuasaan negara terhadap tanah yang sudah dipunyai orang dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu, artinya sampai seberapa negara memberikan kekuasaan kepada seorang yang mempunyainya untuk menggunakan haknya. Sedangkan kekuasaan negara atas tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang atau pihak lain adalah sangat luas dan penuh. Misalnya negara dapat memberikan tanah yang sedemikian itu kepada seseorang atau badan hukum dengan suatu hak menurut peruntukkannya dan keperluannya, misalnya Hak Milik dan Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai ataupun dengan memberikan hak pengelolaan pada suatu badan penguasa. Dalam pada itu kekuasaan negara atas tanah-tanah ini pun sedikit atau banyak dibatasi pula oleh hak ulayat dari kesatuan-kesatuan masyarakat hukum sepanjang kenyataan hak ulayat itu masih ada.[29]

Berdasarkan ulasan Kalo tersebut diatas, maka penguasaan negara atas tanah dibedakan kepada dua penguasaan yaitu penguasaan langsung dan penguasaan tidak langsung. Penguasaan langsung adalah penguasaan negara terhadap tanah yang belum dihaki perseorangan, Menurut Sunarjati Hartono[30] tanah seperti ini disebut dengan istilah “tanah yang dikuasai langsung oleh negara” atau kemudian disebut secara singkat sebagai “tanah negara”. Adapun hak menguasai negara secara tidak langsung adalah hak menguasai negara terhadap tanah yang telah dihaki perseorangan, atau disebut dengan “tanah yang dikuasai tidak langsung oleh negara” atau “tanah negara tidak bebas”.
Menurut Imam Sutiknjo, kewenangan terhadap tanah yang sudah dihaki perseorangan ini pada dasarnya bersifat pasif, kecuali jika tanah itu dibiarkan tidak diurus/ditelantarkan. Sehingga negara dapat mengaturnya supaya produktif.[31] Dengan lahirnya UUPA maka hak-hak atas tanah di Indonesia dibatasi kepada lima macam hak yaitu, hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, dan hak sewa.

C.    Hubungan Saling Pengaruh antara Hukum Eropa, Hukum Adat dan Hukum Nasional terhadap Status Kepemilikan Tanah di Indonesia

Sebagaimana diketahui bahwa sebelum bangsa eropa menjajah nusantara, di nusantara ini terdapat beberapa kerajaan-kerajaan yang pemerintahannya diatur dan dijalankan berdasarkan adat istiadat yang berlaku di wilayah kerajaan tersebut. peraturan-peraturan yang berlaku di wilayah kerajaan itu dianut dan diwariskan secara turun temurun sehingga menciptakan keharmonisan diantara sesama masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
Kedatangan bangsa eropa ke nusantara yang lambat laun akhirnya menjajah nusantara ini, berdampak besar terhadap perobahan tatanan masyarakat hukum adat yang mendiami nusantara ini. Perobahan itu dirasakan betul oleh penduduk baik itu disebabkan oleh politik yang diterapkan oleh penjajah maupun hukum yang diberlakukan oleh pemerintah penjajah.
Salah satu perobahan yang terjadi itu adalah dalam hal keagrariaan. Sebelum pemerintahan belanda berkuasa di Indonesia maka hak-hak atas tanah yang berlaku di Indonesia di atur berdasarkan hukum adat, akan tetapi setelah pemerintah belanda berkuasa maka pengaturan hak-hak atas tanah yang diberlakukan bisa dikelompokkan ke dalam 3 jenis yaitu[32]:
1.      Hak-hak asli Indonesia, yaitu hak-hak atas tanah menurut hukum adat;
2.      Hak-hak Barat, yaitu hak-hak atas tanah menurut Hukum Barat, yaitu hukum yang dibawa oleh Pemerintah Hindia Belanda ke Indonesia bersamaan dengan Hukum Eropa. Dalam hal ini, Pemerintah Hindia Belanda memberlakukan asas konkordansi dengan menerapkan aturan yang berlaku di Negeri Belanda di Indonesia, serta
3.      Hak-hak atas tanah daerah yang di atasnya masih ada penguasaan dari kerajaan setempat, misalnya Yogyakarta, Surakarta, Sumatera Timur dan daerah-daerah swapraja lainnya.

Menurut Wignjodipoero[33] pengaruh kekuasaan kerajaan-kerajaan  dan kekuasaan pemerintah Hindia Belanda terhadap hak ulayat ada yang bersifat positif dan ada juga yang bersifat negatif. Pengaruh yang bersifat positif pada umumnya berwujud sebagai perlindungan ataupun penegakan daripada hak ulayat sesuatu persekutuan terhadap tanah wilayhnya. Contohnya adalah berupa timbulnya surat-surat “pikukuh”ataupun “piagam” yang dikeluarkan oleh kerajaan dengan maksud untuk menegaskan batas-batas wilayah persekutuan yang bersangkutan, hal mana berarti suatu perlindungan bagi persekutuan yang bersangkutan terhadap pihak ketiga. Hal semacam ini didapati pula pada masa pemerintahan kolonial belanda, yaitu dengan diundangkannya “ordonansi-ordonans” seperti “desa ordonansi” Staatsblad 1941 No. 356 dan “marga-ordonansi” Staatsblad 1931 No. 6.[34]
Adapun pengaruh negatif dari kekuasaan kerajaan-kerajaan dan kekusaan pemerintahan hindia belanda terhadap hak ulayat berupa pemerkosaan terthadap hak-hak ulayat, pembatasan hak masyarakat hukum adat oleh pemerintah terhadap penggunaan tanah ulayat, dan lain sebaginya.
Sedangkan pengaruh dari hukum adat terhadap hak kepemilikan tanah terhadap hukum agraria nasional yang berlaku saat ini adalah bahwa UUPA sebagai hukum yang mengatur pertanahan di Indonesia mengacu kepada hukum adat tentang tanah.

D.    Kesimpulan
Dari uraian di atas, maka ada beberapa kesimpulan penting yang bisa dipetik yakni:
1.      Ada dua hal yang menyebabkan tanah itu memiliki kedudukan yang sangat penting dalam hukum adat, yaitu pertama, karena sifatnya, dimana tanah merupakan satu-satunya benda kekayaan yang meskipun mengalami keadaan yang bagaimanapun juga masih bersifat tetap dalam keadaannya, bahkan terkadang semakin lama harganya bisa semakin mahal. Kedua, karena fakta bahwa tanah merupakan tempat tinggal persekutuan, bisa memberikan penghidupan kepada persekutuan, tempat dimana para warga persekutuan yang meninggal dunia dikebumikan, serta tempat tinggal dayang-dayang pelindung persekutuan dan roh leluhur persekutuan.
2.      UUPA sebagai turunan dari pasal 33 ayat 3 UUD 1945 mengandung asas (prinsip) bahwa semua hak atas tanah dikuasi oleh negara, dan asas bahwa hak milik atas tanah dapat dicabut untuk kepentingan umum.
3.      Dalam sejarah hukum pertanahan di Indonesia sejak zaman kesultanan, zaman kolonial, sampai zaman kemerdekaan, dalam prakteknya diperlakukan 3 (tiga) teori penguasaan tanah yakni teori eropa, teori adat dan teori hukum nasional.
4.      Teori Eropa merupakan penguasaan atas tanah berdasarkan pemikiran orang eropa, inti dari teori ini adalah bahwa raja merupakan penguasa segala hal di negaranya dengan semboyan “L’etat c’est Moi” atau Negara adalah Saya, teori ini mencerminkan kekuasaan yang besar atas tanah. Raja dianggap sebagai wakil negara dan pemilik tanah adalah negara. Teori ini juga berlaku di Inggris dan Belanda. Pemerintah Hindia Belanda memberlakukan teori ini di Indonesia, yang berarti bahwa semua tanah di Indonesia adalah milik raja dan dengan demikian oleh karena raja takluk kepada pemerintahan kolonial, maka semua tanah di negara jajahan dikonversi menjadi milik raja Belanda. Oleh karena itu pemerintah Kolonial menganggap semua tanah yang ada di Indonesia adalah milik penguasa kolonial. Dengan memberlakukan azas domein verklaring, dengan arti bahwa semua tanah-tanah tidak dapat dibuktikan siapa pemiliknya adalah menjadi tanah negara. Atas dasar teori ini maka pemerintah kolonial dapat menyewakan tanah-tanah kepada perusahaan onderneming dengan skala besar.
5.      Teori pemilikan tanah berdasarkan hukum adat adalah tanah merupakan milik komunal atau persekutuan hukum (beschikkingsrecht). Dalam hal ini setiap anggota persekutuan dapat mengerjakan tanah dengan jalan membuka tanah terlebih dahulu dan jika mereka mengerjakan tanah tersebut secara terus-menerus maka tanah tersebut dapat menjadi hak milik secara individual.
6.      Teori hukum nasional yang dimaksudkan disini adalah hak penguasaan tanah yang didasarkan kepada UUPA Nomor 5 Tahun 1960. Inti dari teori ini adalah bahwa penguasaan negara atas tanah bukanlah berarti negara bisa bertindak sewenang-wenang atas seluruh tanah yang ada di negara ini. Penguasaan negara ini dibatasi oleh adanya hak individu dan hak persekutuan hukum adat terhadap tanah. Sehingga tanah yang bisa dikuasai langsung oleh negara adalah tanah yang tidak terletak padanya hak individu maupun hak ulayat. Tanah yang dikuasai langsung oleh negara itu peruntukannya juga adalah untuk kemakmuran rakyat.
7.      Hukum pertanahan Nasional yang berlaku saat ini bersumber dari hukum adat.

E.     Penutup
Undang-Undang Pokok Agraria sebagai dasar hukum pertanahan Indonesia hari ini sebenarnya sudah cukup bagus. Hal ini tidak terlepas dari konfigurasi politik yang terjadi pada saat penyusunan UUPA tersebut. Dalam teori politik hukum, konfigurasi politik pada suatu masa akan sangat berpengaruh terhadap karakter hukum yang dihasilkan pada masa tersebut. Di dalam negara yang konfigurasi politiknya demokratis, maka produk hukumnya akan berkarakter responsif/populistik, sedangkan di negara yang konfigurasi politiknya otoriter, maka produk hukumnya akan berkarakter ortodoks/konservatif/elitis.
UUPA diakui sudah cukup bagus, dimana substansi isinya sangat aspiratif dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat, cuma yang menjadi masalah saat ini adalah dalam hal penerapannya seringkali tidak sesuai dengan harapan masayarakat ataupun substansi dari tujuan UUPA tersebut.
Banyaknya muncul sengketa agraria bukanlah disebabkan kelemahan dari UUPA tersebut akan tetapi disebabkan penerapannya secara penuh sulit karena kentalnya arogansi sektoral berbagai pihak dan banyaknya tumpang tindih aturan dan ketentuan menyangkut pertanahan. Untuk itu turunan dari UUPA tersebut barangkali perlu ditinjau ulang disamping mental aparatur lembaga pertanahan Indonesia juga perlu diperbaiki.




DAFTAR PUSTAKA

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 1999.

Heru Kuswanto, Hukum Agraria, (Modul) Fakultas Hukum Universitas Narotama, Surabaya, 2011

Imam Sutiknjo, Politik Agraria Nasional, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1994.

Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, PT. Gunung Agung, Jakarta, 1983.

Soeprijadi, Reorganisasi Tanah serta Keresahan Petani dan Bangsawan di Surakarta 1911-1940, Tesis, UGM, Yogyakarta, 1996

Syafruddin Kalo, Perbedaan Persepsi Mengenai Penguasaan Tanah dan Akibatnya Terhadap Masyarakat Petani di Sumatera Timur pada Masa Kolonial yang Berlanjut pada Masa Kemerdekaan, Orde Baru dan Reformasi, Program Studi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1985.

Sunarjati Hartono, Kapita Selekta Perbandingan Hukum, Alumni, Bandung, 1986.

Tampil Anshari Siregar, Pendaftaran Tanah Kepastian Hak, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2011.

Tampil Anshari Siregar, Undang Undang Pokok Agraria dalam Bagan, Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, Medan, 2011.

Umar Kusumo Haryono, Eksistensi Tanah Kasultanan (Sultan Ground) Yogyakarta Setelah Berlakunya UU No. 5 / 1960, Yustisia Edisi Nomor 68 Mei - Agustus 2006.

Liliz Nur Faizah, Hak Menguasai Negara Suatu Pendekatan Historis-Filosofis, (rangkuman dari Bab II tentang Hak Menguasai Negara, dalam skripsi ”Perkembangan Konsep Kepentingan Umum dalam Hukum Pengambilalihan Hak atas Tanah di Indonesia (1960-2006)” di Fakultas Hukum UGM Yogyakarta pada tahun 2007). http://zeilla.files.wordpress.com/2008/05/ hmn_filosofis.pdf.

Zuryawan Isvandiar Zoebir, Bayang-Bayang Cultuurstelsel Dan Domein Verklaring Dalam Praktik Politik Agraria, http://zuryawanisvandiarzoebir.wordpress.com/2008/11/07/ bayang-bayang-cultuurstelsel-dan-domein-verklaring-dalam-praktik-politik-agraria/, (7 November 2008).






[1] Tampil Anshari Siregar, Pendaftaran Tanah Kepastian Hak, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2011 halaman 1.

[2] Ibid.

[3] Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, PT. Gunung Agung, Jakarta, 1983 halaman 197.

[4] Soeprijadi, Reorganisasi Tanah serta Keresahan Petani dan Bangsawan di Surakarta 1911-1940, Tesis, UGM, Yogyakarta, 1996, halaman 1-2.

[5] Siregar, Pendaftaran Tanah,Op.Cit. halaman 11.

[6] Syafruddin Kalo, Perbedaan Persepsi Mengenai Penguasaan Tanah dan Akibatnya Terhadap Masyarakat Petani di Sumatera Timur pada Masa Kolonial yang Berlanjut pada Masa Kemerdekaan, Orde Baru dan Reformasi, Program Studi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, t.t. halaman 3.

[7] Ibid,.

[8] Umar Kusumo Haryono, Eksistensi Tanah Kasultanan (Sultan Ground) Yogyakarta Setelah Berlakunya UU No. 5 / 1960, Yustisia Edisi Nomor 68 Mei - Agustus 2006, halaman 3.


[9] Kalo, Op.Cit. halaman 7.
[10] Ibid, halaman 7.

[11] Ibid.

[12] Zuryawan Isvandiar Zoebir, Bayang-Bayang Cultuurstelsel Dan Domein Verklaring Dalam Praktik Politik Agraria, http://zuryawanisvandiarzoebir.wordpress.com/2008/11/07/ bayang-bayang-cultuurstelsel-dan-domein-verklaring-dalam-praktik-politik-agraria/, (7 November 2008).



[13] Heru Kuswanto, Hukum Agraria, (Modul) Fakultas Hukum Universitas Narotama, Surabaya, 2011, halaman 2.

[14] Loc.cit., halaman 7-8.
[15] Op.cit., halaman 2.

[16] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 1999, halaman 46.

[17]  Kalo, Op.cit., halaman 9.

[18] Ibid., halaman 9-10.

[19] Wignjodipoero, Op.Cit., halaman 198.

[20] ibid., halaman 199.

[21]  Tampil Anshari Siregar, Undang Undang Pokok Agraria dalam Bagan, Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, Medan, 2011. Halaman 20.

[22] Ibid., halaman 198.

[23] Kalo, Op.Cit., halaman 10.

[24] Siregar, Undang-Undang, Op.Cit., halaman 20-21.
[25] Siregar, Undang-Undang., Op.Cit., halaman 21
[26] Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, Pasal 2

[27]  Liliz Nur Faizah, Hak Menguasai Negara Suatu Pendekatan Historis-Filosofis, (rangkuman dari Bab II tentang Hak Menguasai Negara, dalam skripsi ”Perkembangan Konsep Kepentingan Umum dalam Hukum Pengambilalihan Hak atas Tanah di Indonesia (1960-2006)” di Fakultas Hukum UGM Yogyakarta pada tahun 2007). http://zeilla.files.wordpress.com/2008/05/ hmn_filosofis.pdf. halaman 4.

[28] Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1985, halaman 93.

[29] Kalo, Op.Cit., halaman 12.

[30] Sunarjati Hartono, Kapita Selekta Perbandingan Hukum, Alumni, Bandung, 1986, halaman 63.

[31] Imam Sutiknjo, Politik Agraria Nasional, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1994, halaman 53.
[32]  Mudjiono, Alternatif Penyelesaian Sengketa Pertanahan di Indonesia Melalui Revitalisasi Fungsi Badan Peradilan, Jurnal Hukum  No. 3 Vol.14 Juli 2007, hal. 459.
[33] Wignjodipoero, Op.Cit, hal. 200.

[34] ibid.