Selasa, 16 Agustus 2011

NU DAN PANCASILA; AFLIKASI FIKIH DALAM BERNEGARA Oleh : Agussalam Nasution, S.H.I

NU DAN PANCASILA;
AFLIKASI FIKIH DALAM BERNEGARA
Oleh : Agussalam Nasution, S.H.I


BAB I
PENDAHULUAN:

Keputusan NU untuk menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas bahkan posisi NU sebagai organisasi kemasyarakatan Islam pertama yang menerima asas tunggal Pancasila kalau dilihat dari kaca mata sejarah tentunya bisa dikatakan sebagai sebuah langkah yang sangat kontroversial dan menimbulkan suatu pertanyaan besar, sebab sebagaimana penulis paparkan diatas pada masa-masa pra kemerdekaan khususnya saat sidang-sidang BPUPKI/PPKI tokoh-tokoh NU-lah yang paling getol menyuarakan supaya Islam dijadikan sebagai landasan ataupun asas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, toh kenapa dikemudian hari ternyata NU pulalah yang pertama sekali menerima penerapan asas tunggal Pancasila?


Latar Belakang
Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara Republik Indonesia sejak kelahirannya relatif tidak pernah sepi dari perdebatan. Hampir dalam setiap tahapan perjalanan sejarah negara ini polemik mengenai pancasila selalu muncul, sejak sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tahun 1945, sidang-sidang di Konstituante sekitar tahun 1959, penerapan asas tunggal pancasila pada zaman orde baru, hingga di era reformasi sekarang ini.
Secara garis besar ada dua kubu yang selalu saling berhadapan dalam perdebatan mengenai Pancasila sebagai ideologi negara, yaitu kubu “nasionalis Islami” disatu pihak dan kubu “nasionalis sekuler dipihak lain.
Kubu nasionalis Islami adalah representasi dari ummat Islam yang menginginkan Islam dijadikan sebagai dasar dan ideologi negara, di BPUPKI orang-orangnya diwakili oleh tokoh-tokoh dari organisasi-organisasi Islam. Sedangkan kubu nasionalis sekuler merupakan representasi dari organisasi-organisasi kebangsaan yang tidak menginginkan dijadikannya Islam sebagai dasar dan ideologi negara.
Sebetulnya jauh sebelum dibentuknya BPUPKI, yaitu pada sekitar tahun 1938 – 1940, polemik ideologi antara kedua kubu ini sudah mulai jelas kelihatan. Di dalam majalah Panji Islam, Soekarno sebagai juru bicara nasionalis “sekuler” menulis artikel-artikel mengenai hubungan antara agama dan negara dengan judul-judul Memudahkan Pengertian Islam, Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara, dan Apa Sebab Turki Memisahkan Agama dan Negara. Tulisan-tulisan Soekarno tersebut pada gilirannya dijawab oleh M. Natsir sebagai penyambung lidah nasionalis Islami melalui beberapa artikel yang dimuat dalam majalah Panji Islam dan majalah Al-Manar yang kemudian dikutip oleh majalah-majalah Islam yang lain. Tulisan-tulisan Natsir itu antara lain berjudul sebagai berikut : Arti Agama dalam Negara, “Mungkinkah Qur’an Mengatur Negara, Kemal pasya dan Vrijmetselari, Persatuan Agama dan Negara, Islam “Demokrasi?”, Mengasih Islam Bersinggasana dalam Kalbu, Syeikh Yang Maha Hebat, dan Berhakim Kepada Sejarah.
Demikianlah sejak awal-awal pergerakan kemerdekaan ternyata bipolarisasi dalam pergerakan rakyat Indonesia sudah mulai ada, hal ini diungkapkan dengan jelas oleh Endang Syaifuddin Ansari dalam bukunya Piagam Jakarta:
“… entah sengaja atu tidak, sejak awal-awal pergerakan kemerdekaan pada awal abad ke-20 bipolarisasi dalam pergerakan rakyat Indonesia sudah mulai jelas kelihatan. Disamping Budi Utomo (1908) ada Syarikat Islam atau Syarikat Dagang Islam (1905), di samping Jong Java (1915) ada Jong Islamieten Bond (1925), di samping Taman Siswa (1922) ada Muhammadiyah (1912) dan Nahdlatul Ulama (1926), disamping Permufakatan Politik Kebangsaan Indonesia (1927) dan Gabungan Politik Indonesia (1939) ada Majelis al-Islam A’la Indonesia (1937), di samping Djawa Hokokai (1944) ada Majelis Syuro Muslimin Indonesia (1943).”

Setelah dibentuknya Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) oleh penguasa Jepang pada tahun 1945, pertentangan dan polemik mengenai dasar dan ideologi negara antara tokoh-tokoh nasionalis Islami dengan tokoh-tokoh nasionalis sekuler semakin jelas kelihatan terutama dalam sidang-sidang mereka di BPUPKI.
Dari beberapa tokoh nasionalis Islami yang duduk di BPUPKI, sejarah mencatat bahwa tokoh-tokoh dari Nahdlatul Ulama (NU)lah yang paling getol menyuarakan supaya Islam dijadikan sebagai dasar bernegara. Tokoh-tokoh NU yang terus-menerus mengusulkan “Islamisasi” Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia yang akan diproklamirkan itu adalah K.H. Wahid Hasyim dan K.H. Masykur. Perjuangan kedua tokoh NU tersebut untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara jelas terlihat dari saran dan usul-usul mereka dalam sidang-sidang BPUPKI.
K.H. Wahid Hasyim dan K.H. Masykurlah yang ngotot supaya dibuat suatu ketentuan bahwa “hanya orang Islam yang boleh dipilih sebagai presiden dan wakil presiden Republik” dan bahwa pasal mengenai agama harus berbunyi “Agama negara adalah Islam, dengan jaminan kemerdekaan bagi penganut agama lainnya untuk menganut agama mereka …”. Kedua tokoh ini beralasan “bagaimana mungkin kalimat dalam preambule UUD (Piagam Jakarta) yang mengatakan ‘Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ dapat terlaksana dengan baik jika presidennya tidak tegas dinyatakan harus beragama Islam” dan mengenai perlunya ditegaskan bahwa “agama negara adalah Islam” menurut Wahid Hasyim, hal tersebut sangat penting artinya bagi pertahanan negara dikemudian hari. Wahid Hasyim beralasan pertahanan yang didasarkan pada keyakinan agama akan sangat kuat, karena menurut ajaran Islam orang hanya boleh mengorbankan jiwanya untuk ideologi agama.
Sidang PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 yang mementahkan kembali usul-usul dari kalangan nasionalis Islami yang sebelumnya sudah disepakati menjadi Undang-Undang Dasar menyebabkan polemik antara kedua kubu ini muncul kembali dikemudian hari yaitu pada saat-saat sidang Konstituante (1955-1959), kaum nasionalis Islami termasuk didalamnya NU sebagai salah satu partai politik Islam terbesar kedua setelah Masyumi tetap memperjuangkan supaya Piagam Jakarta (baca: Islam) dijadikan sebagai dasar negara sementara kaum nasionalis sekuler tetap bertahan supaya negara ini tidak didasarkan kepada salah satu agama tertentu. Polemik di Konstituante ini pada akhirnya dihentikan oleh presiden Soekarno melalui Dekrit Presiden kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 tanggal 5 Juli 1959. Dengan keluarnya Dekrit ini lagi-lagi perjuangan kaum nasionalis Islami untuk menerapkan Islam secara legal formal di Indonesia menjadi gagal kembali.
NU sendiri sebagai salah satu organisasi kemasyarkatan maupun politik Islam yang sejak awal sangat getol memperjuangkan dijadikannya Islam sebagai ideologi dan dasar negara pada kenyataannya bisa menerima Dekrit Presiden tersebut.
Pada masa-masa selanjutnya perdebatan hangat mengenai ideologi negara kemudian muncul kembali pada tahun 1980 – 1985 yakni seiring dengan gagasan Presiden Soeharto untuk menerapkan asas tunggal Pancasila bagi seluruh organisasi sosial politik dan kemasyarakatan di Indonesia. Akibat dari gagasan penerapan asas tunggal ini masyarkat Indonesia pada saat itu terbagi kepada dua kubu yaitu antara yang menolak gagasan asas tunggal disatu pihak dan yang menerima dipihak lain.
Di tengah polemik mengenai asas tunggal Pancasila ini, bahkan ketika organisasi-organisasi Islam dan keagamaan non Islam lainnya masih komplain terhadap gagasan penerapan asas tunggal ini, Nahdlatul Ulama (NU) melalui Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama tahun 1983 di Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo mengambil keputusan menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, keputusan Munas Alim Ulama ini kemudian ditegaskan kembali pada muktamar NU XXVII di Situbondo tanggal 8-12 Desember 1984.
Keputusan NU untuk menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas bahkan posisi NU sebagai organisasi kemasyarakatan Islam pertama yang menerima asas tunggal Pancasila kalau dilihat dari kaca mata sejarah tentunya bisa dikatakan sebagai sebuah langkah yang sangat kontroversial dan menimbulkan suatu pertanyaan besar, sebab sebagaimana penulis paparkan diatas pada masa-masa pra kemerdekaan khususnya saat sidang-sidang BPUPKI tokoh-tokoh NU-lah yang paling getol menyuarakan supaya Islam dijadikan sebagai landasan ataupun asas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, toh kenapa dikemudian hari ternyata NU pulalah yang pertama sekali menerima penerapan asas tunggal Pancasila?
Buku ini akan berusaha mengungkap fakta dan alasan-alasan dibalik penerimaan NU terhadap asas tunggal Pancasila.



Sekilas tentang Sikap Politik NU

Kelahiran Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU) sesungguhnya tidak terlepas dari peristiwa sosial politik yang melanda kawasan dunia Islam pada sekitar abad ke-19. Dari berbagai literatur yang ditulis oleh orang-orang NU, Laode Ida menyimpulkan bahwa kelahiran NU ini adalah sebagai reaksi atas perkembangan modernisme Islam yang tarik menarik antara perkembangan politik di Timur Tengah dengan dinamika gerakan Islam di Tanah Air. Reaksi dimaksud merupakan sikap protes dari tokoh-tokoh Islam yang menyatakan diri sebagai penganut Ahlussunnah wal-Jama’ah, dimana akar-akar reaksi itu berdimensi ideologis-kultural.
NU sebagai organisasi Islam yang menyatakan diri berhaluan Ahlussunnah wal-Jama’ah tentunya dalam praktek keberagamaannyapun tidak terlepas dari pengaruh ajaran Ahlussunnah wal-Jama’ah, demikian juga dalam bidang politik, pemikiran politik Ahlussunnah wal-Jama’ah sedikit banyaknya berpengaruh kepada pemikiran politik kaum Nahdliyyin di Nusantara.
Seperti halnya Ahlussunnah wal-Jama’ah yang dari segi politisnya cukup akomodatif terhadap negara, praktek seperti itu juga nampak dalam sikap-sikap NU dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sikap NU terhadap berbagai perkembangan politik kenegaraan sepanjang sejarah Indonesia merdeka menunjukkan bahwa NU cukup fleksibel berhadapan dengan negara. Ahmad Baso anggota Komnas HAM RI dalam artikelnya Sejarah Global Kelahiran NU, mengatakan bahwa sikap lentur dan akomodatif secara konsisten menjadi garis politik NU sepanjang perjalanan Indonesia merdeka. Lebih lanjut Baso mengatakan bahwa garis politik seperti itulah yang memudahkan kalangan NU menerima Pancasila dan NKRI sebagai bentuk final perjuangan ummat Islam sebagai sesuatu yang harus dibela dan dipertahankan.
Disisi lain sikap-sikap dan keputusan politik NU sesungguhnya tidak terlepas dari konsep dan tradisi pemikiran fiqh, ushul fiqh dan qawaidul fiqhiyyah. Setiap kali mengambil keputusan penting, para ulama Nahdliyyin selain merujuk kepada Al-Qur’an dan Hadist juga selalu berpijak kepada tradisi pemikiran fiqh tersebut. Dengan tradisi pemikiran seperti inilah NU mencoba memberi jawaban terhadap tantangan perubahan yang dihadapi untuk melembagakan nilai-nilai baru serta tingkah laku dan peran sosio-politiknya. Pengaruh pemikiran politik Sunny, latar belakang sejarah serta tradisi pemikiran yang cenderung fiqh oriented ini juga berpengaruh besar terhadap keputusan NU menerima asas tunggal Pancasila.

*********



BAB II
NAHDLATUL ULAMA
DAN FAHAM KEAGAMAANNYA

”NU dalam setiap aktivitasnya baik itu dalam kehidupan sosial, praktek keberagamaan, maupun dalam prilaku politiknya bisa bersikap toleran, elastis dan akomodatif terhadap nilai-nilai yang ada dimasyarakat. Bahkan sikap moderat (tawassuth), toleran (tasamuh), Harmoni (tawazun), akomodatif terhadap nilai-nilai kultural bangsa, mampu menghargai pihak lain, menciptakan kedamaian di tengah umat, bersikap elastis dalam menghadapi persoalan dan mampu bermitra dengan pemerintah seolah sudah menjadi ciri khas bagi NU dengan paham Aswajanya.


Sejarah Kelahiran NU
Proses kelahiran NU sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari konteks waktu yang mengitarinya. Pengaruh perkembangan yang terjadi di dunia Islam khususnya di Timur Tengah dan dinamika sosial politik kegamaan di Tanah Air sangat berpengaruh besar terhadap kelahiran Organisasi ini. Sebagaimana ditegaskan oleh Laode Ida bahwa kelahiran NU tidak terlepas dari reaksi atas perkembangan modernisme Islam yang tarik menarik antara perkembangan politik di Timur Tengah dengan dinamika gerakan Islam di tanah air.
Perkembangan politik di Timur Tengah pada awal abad ke-20 ditandai dengan tampilnya tokoh-tokoh Islam penganut ajaran Abdul Wahab dengan ajarannya yang terkenal “aliran wahabi”. Para penganut aliran Wahabi ini berhasil muncul kepanggung kekuasaan khususnya di Semenanjung Arabia yakni ditandai dengan berdirinya pemerintahan golongan Wahabi dibawah kepemimpinan Raja Ibnu Sa’ud.
Gerakan Wahabi lahir untuk melakukan pemurnian terhadap ajaran Islam yang saat itu dianggap telah banyak yang menyimpang dari ketentuan Al-Qur’an dan Al-Hadist. Berbagai praktek keagaaman diserang oleh golongan Wahabi termasuk diantaranya ajaran sufisme. Praktek ibadah banyak dinilai telah bercampur dengan bid’ah dan khurafat bahkan ajaran-ajaran dari Imam Mazhab yang empat juga mendapat serangan dari mereka. Menurut Wahabi banyak ajaran dari empat mazhab (Syafi’I, Hanbali, Hanafi dan Maliki) yang setelah ditelusuri tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadist seperti masalah Taqlid dan Ijtihad, masalah talafuzbinniyat, ziarah kubur, bacaan barzanji, talqin, selamatan dan lain-lain.
Gerakan pembaruan yang terjadi di Timur Tengah khususnya yang dilaksanakan oleh Wahabi ternyata berpengaruh juga ke Indonesia. Hal ini sebagaimana di sebutkan oleh Kacung Marijan :
Tidak pelak lagi, akibat kontak langsung lewat perjalanan haji, maupun secara tidak langsung lewat majalah seperti Al-Urwat, Al-Wusqa, Al-Manar dan beberapa majalah pembaruan lainnya, arus pembaruan itu akhirnya masuk juga ke Indonesia. Gerakan pembaruan ini dimulai di Minangkabau lewat tokohnya Ahmad Khatib, yang kemudian dilanjutkan oleh murid-muridnya. Gerakan ini memperoleh reaksi dari kalangan Islam tradisional dan adat yang sudah lama mengakar. Dari kalangan Islam Tradisional lewat tokohnya seperti Syaikh Haji Muhammad Saat bin Tanta’, Syaikh Haji Muhammad Ali bin Abdul Muthalib, Haji Abdul Ahmad, Haji Rasul dan beberapa yang lain. Mereka menolak kritik yang dilakukan pembaru tentang tarikat. soal-soal Furu’ seperti usalli, talqin, keramat, ru’yah, ijtihad dan taqlid juga tidak luput dari kritik kaum pembaru. Kalangan Islam Tradisonal ini lantas mendidrikan organisasi Ittihadul Ulama Minangkabau dan Persekutuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI).

Reaksi terhadap gerakan pembaruan yang dilancarkan oleh Wahabi ternyata juga tidak hanya terjadi di tanah Minang, di tanah Jawa juga rekasi itu muncul. Kalangan Islam tradisional melalui ulama-ulama pesantren yang merasa praktek dan paham keberagamaannya diserang bereaksi keras untuk memepertahankan paham dan praktek keberagamaannya karena sesungguhnya mereka juga memiliki dalil-dalil yang kuat dalam menjalankan praktek keagamaanya. Tidak hanya itu timbulnya gerakan pembaruan di Timur Tengah dan kemudian berkembang di tanah air telah menyebabkan timbulnya konflik-konflik dan perbenturan-perbenturan di tengah-tengah ummat.
Untuk menghindari konflik-konflik itu Syarikat Islam mempelopori sebuah forum dialog, dan untuk realisasi forum itu maka pada tahun 1921 diadakan kongres Islam yang pertama di Cirebon. Kongres semacam ini terus dilanjutkan pada masa-masa berikutnya. Namun karena persoalan yang diperbincangkan melulu pada hal-hal yang menyangkut khilafiah dan furu’ maka kongres ini tidak bisa menjadi jalan keluar bagi perbedaan-perbedaan. Hampir dalam setiap kongres kalangan Islam tradisionalis dipojokkan bahkan praktek keagamaan kaum tradisonalis banyak yang dicela oleh kalangan modernis khususnya yang tergabung dalam Persis dan Muhammadiyah. Tentang pencelaan ini Lathiful Khuluq memaparkan sebagai berikut:
Ketika itu, aktivitas utama Syarikat Islam adalah dalam bidang politik dengan usaha mengesampingkan diskusi mengenai masalah-masalah cabang keagamaan (furu’iyah) seperti jumlah raka’at dalam shalat tarawih dan do’a qunut dalam shalat subuh. Selain itu Muhammadiyah yang didirikan pada 1912, baru memfokuskan diri dalam bidang sosial dan pendidikan. Namun sepeninggal pendirinya, K.H. Ahmad Dahlan, organisasi ini kemudian mulai mencela secara terbuka ideologi dan praktek-praktek keagamaan kaum tradisionalis. Celaan serupa juga dilancarkan oleh organisasi modernis lain, yaitu Persatuan Islam yang mencela dengan lebih radikal dalam pidato dan brosur-brosur mereka praktek-praktek keagamaan kaum tradisionalis seperti slametan dan talqin yang dianggap sebagai syirik dan dosa.

Kalangan Islam tradisional amat kecewa dalam setiap kongres karena selalu didominasi oleh golongan pembaru. Kekecawaan kalangan Islam Tradisional bertambah ketika forum itu memperoleh undangan dari Raja Arab Saudi untuk menghadiri Muktamar Dunia Islam (Muktamar Alam Islami) dimana perutusan untuk menghadiri Mukatamar ini didominasi oleh golongan pembaru dan aspirasi golongan tradisional tidak terwakili.
Karena gagal menyampaikan aspirasinya pada Muktamar Alam Islami, maka golongan Tradisional dipelopori oleh K.H Abdul Wahab Hasbullah dan K.H Hasyim Asy’ari mendirikan sebuah komite khusus yang bertugas untuk menyampaikan langsung aspirasi golongan Islam tradisional kepada Raja Ibnu Su’ud dan Komite itu diberi nama Komite Hijazz.
Dalam rangka mempersipakan utusan dan aspirasi-aspirasi yang akan disampaikan kepada Raja Ibnu Su’ud maka Komite Hijazz mengadakan pertemuan di Taswirul Afkar Lawang Agung Ampel – Surabaya pada hari Kamis tanggal 21 Januari 1926 M atau bertepatan dengan 16 Rajab 1345 H. Dalam pertemuan ini muncul gagasan supaya Komite Hijazz dijadikan sebagai sebuah organisasi yang dapat menampung para ulama dan para pengikutnya dengan segala macam program yang dapat mempertahankan dan mengembangkan nilai-nilai dan ajaran-ajaran Ahlussunnah waljama’ah. Maka dalam pertemuan itu dilahirkanlah organisasi baru yang diberi nama Jam’iyah Nahdlatul Ulama dengan komposisi kepengurusan sebagai berikut:
Rois Akbar : Hadratus Syeikh K.H. Hasyim As’ari
Wakilurrois : K.H. Said bin Saleh
Katib Awwal : K.H. Abdul Wahab Hasbullah
Katib Tsani : Mas H. Alwi Abdul Aziz
A’wan : 1. K.H. Abdul Halim Leuwimunding
2. K.H. Ridwan (pencipta lambang NU)
3. K.H. Bisri Sansoeri, Denanyar Jombang
4. K.H. Said
5. K.H. Abdullah Ubaid
6. K.H. Nahrowi Thohir, Malang
7. K.H. Amin, Surabaya
8. K.H. Kholil Masyhuri, Seditan-Lasem.
Mustasyar : 1. K.H. Asnawi dari Kudus
2. K.H. Ridwan dari Semarang
3. K.H. Nawawi dari Sidogiri
4. K.H. Doro Muntoho dari Bangkalan
5. K.H. Ahmad Gonaim Al-Misri
6. K.H. Hambali dari Kudus
Presiden : H. Hasan Gipo
Penulis : M. Sadik alias Sugeng Yudhodhiwiryo
Bendahara : H. Burhan
Komisaris-Komisaris: 1. H. Saleh Syamil
2. H. Ihsan
3. H. Nawawi
4. H. Dahlan Abdul Qohar
5. Mas Mangun

Kehadiran Jam'iyyah Nahdlatul Ulama' dimaksudkan sebagai suatu organisasi yang dapat mempertahankan ajaran Ahlus Sunnah Wal Jama'ah dari segala macam intervensi (serangan) golongan-golongan Islam di luar Ahlus Sunnah Wal Jama'ah di Indonesia pada khususnya dan di seluruh dunia pada umumnya; dan bukan hanya sekedar untuk menghadapi golongan Wahabi saja sebagaimana Comite Hejaz. Disamping itu juga dimaksudkan sebagai organisasi yang mampu memberikan reaksi terhadap tekanan-tekanan yang diberikan oleh Pemerintah Penjajah Belanda kepada ummat Islam di Indonesia.
Setelah terbentuknya Jami’iyah Nahdlatul Ulama maka Komite Hijaz dibubarkan dan seluruh tugas-tugas komite Hijaz dilimpahkan kepada Jam’iyah Nahdlatul Ulama.


NU Sebagai Organisasi Sosial Keagamaan
Berdirinya perkumpulan NU mendapat sambutan luas dari masyarakat Islam Nusantara yang berhaluan salah satu dari mazhab yang empat. Salah satu faktor penting yang menjadi penyebab diterimanya organisasi ini adalah karena organisasi ini didirikan dan dikelola oleh ulama-ulama kharismatik yang cukup dikenal luas dan dekat dengan masyarakat bawah.
Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa setelah NU berdiri maka semua tugas-tugas komite Hijaz dilimpahkan kepada NU. Maka segera setelah selesai berdiri langkah pertama yang dilaksanakan oleh pengurus adalah menyelesaikan tugas yang dilimpahkan kepada NU. Untuk itu maka NU segera menghubungi pimpinan sentral Komite Khilafat di Surabaya yang bertugas menyelenggarakan Kongres Al-Islam di Bandung pada bulan Pebruari 1926. Kongres Al-Islam ini begitu penting karena salah satu agenda acaranya adalah membicarakan seruan Raja Ibnu Sa’ud yang akan mengadakan Muktamar Alam Islam di Mekkah.
Pada Kongres Al-Islam ini NU memutuskan untuk mengirim utusan sendiri ke Mekkah menjumpai Raja Ibnu Sa’ud hal ini karena kepentingan NU terhadap Raja Ibnu Sa’ud berbeda dengan kepentingan peserta Kongres Alam Islam secara umum. Kepentingan NU adalah untuk menyuarakan kebebasan beribadat. Hal ini sebagaimana ungkapkan oleh Maksoem Mahfoedz :
Oleh Kongres Al Islam seruan Raja Ibnu Sa’ud itu disambut dengan gembira, dan untuk itu maka kongres mengirim utusan-utusan 2 orang, yaitu: Umar Said Cokroaminoto dan K.H. Mas Mansur, yang diberi amanat untuk menyampaikan dukungannya dalam gagasan pembentukan Muktamar Alam Islam. Pada segi lain NU berkepentingan untuk menghubungi Raja Ibnu Sa’ud dalam rangka menyelesaikan masalah khilafiyah dan tindakan-tindakan kaum Wahabi yang mendapat restu dari Raja Ibnu Sa’ud. NU mengusulkan agar kaum muslimin yang fahamnya tidak sama dengan faham kaum Wahabi tetap diberi kebebasan beribadat, kebebasan menjalankan agamanya. Tentu saja kepentingan NU dan kepentingan Kongres Al Islam jauh berbeda. Sebab itu NU terpaksa harus mengirim utusan sendiri, yang khusus membawa amanat NU. Maka ditunjuklah dua orang yang harus berangkat ke Mekkah, mereka itu adalah : K.H. Abdul Wahab Hasbullah dan K.H. Ahmad Gonaim Al Misri. Keberangkatan mereka itu ditetapkan pada musim haji tahun berikutnya, yaitu tahun 1927.

Pada awal tahun 1928 maka berangkatlah dua utusan NU menghadap Raja Ibnu Sa’ud di Mekkah dengan membawa misi kebebasan menjalankan ibadah agama sesuai dengan faham keagamaan masing-masing. Setelah sampai di Mekkah ternyata kedua utusan NU ini diterima dengan baik oleh Raja Ibnu Su’ud dan permintaan supaya penganut Islam Ahlussunnah wal-Jama’ah diberi kebebasan menjalankan ibadah ditanah suci dikabulkan oleh penguasa Saudi Arabia itu.
Perjuangan kedua tokoh NU tersebut dalam menyuarakan kebebasan beribadah ini semakin menjadikan NU dikenal luas dan mendapat simpatik dari masyarakat muslim Indonesia yang mayoritas penganut paham Ahlussunnah wal-Jama’ah.
Pada masa-masa selanjutnya NU terus berperan aktiv dalam memperjuangkan kepentingan ummat Islam ditanah air yang kala itu dijajah oleh Belanda. Sejarah mencatat bahwa NU pada masa itu telah berani memberikan reaksi keras terhadap rencana pemerintah Belanda mengenai :
a. Ordonansi Perkawinan atau Undang-Undang Perkawinan, yang isinya mengkombinasikan hukum-hukum Islam dengan hukum-hukum yang dibawa Belanda dari Eropa.
b. Pelimpahan pembagian waris ke Pengadilan Negeri (Nationale Raad) dengan menggunakan ketentuan hukum di luar Islam.
c. Persoalan pajak rodi, yaitu pajak yang dikenakan kepada warga negara Indonesia yang bermukim di luar negeri.
d. Campur tangan Gubernur Hindia Belanda dalam urusan-urusan mesjid dan Pembatasan kekuasaan ummat Islam untuk mengatur Masjid sendiri
Pada tanggal 5 September 1929 Jam'iyyah NU mengajukan Anggaran Dasar (Statuten) dan Anggaran Rumah Tangga (Huishoudelijk Reglemen) yang telah disusun kepada Pemerintah Hindia Belanda. Dan pada tanggal 6 Februari 1930 mendapat pengesahan dari Pemerintah Hindia Belanda sebagai organisasi resmi dengan nama: "PERKUMPULAN NAHDLATUL ULAMA" untuk jangka waktu 29 tahun terhitung sejak berdiri, yaitu: 31 Januari 1926.
Sebagaimana dipaparkan pada Bab I tentang adanya polemik antara kaum nasionalis sekuler dengan kaum nasionalis Islami pada dekade tiga puluhan mengenai identitas pergerakan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan. Maka perlu disebutkan disini bahwa sesungguhnya gerakan nasionalis Islami pada saat itu lebih diwakili oleh kaum Islam pembaharu. Disaat-saat polemik antara nasionalis Islami yang diwakili oleh kaum pembaharu dengan nasionalis sekuler inilah NU sebagai organisasi yang masih baru lahir lebih berbenah kedalam. Maka Sebagai organisasi sosial yang harus menangani semua kepentingan masyarakat, Nahdlatul Ulama memandang sangat perlu untuk membentuk kader-kader yang terdiri dari generasi muda yang sanggup melaksanakan keputusan-keputusan yang telah diambil oleh NU, untuk itu pada tanggal 12 Februari 1938, atas prakarsa K.H. Abdul Wahid Hasyim selaku konsul Jawa Timur, diselenggarakan konferensi Daerah Jawa Timur yang menelorkan keputusan untuk menyelenggarakan pendidikan formal, yaitu mendirikan madrasah-madrasah, disamping sistem pendidikan pondok pesantren. Madrasah-madrasah yang didirikan itu terdiri dari dua macam, yaitu:
1. Madrasah Umum, yang terdiri dari :
- Madrasah Awwaliyah, dengan masa belajar 2 tahun.
- Madrasah Ibtidaiyyah, dengan masa belajar 3 tahun.
- Madrasah Tsanawiyyah, dengan masa belajar 3 tahun.
- Madrasah Mu'allimin Wustha, dengan masa belajar 2 tahun.
- Madrasah Mu'allimin 'Ulya, dengan masa belajar 3 tahun.
2. Madrasah Kejuruan (Ikhtishashiyyah), yang terdiri dari:
- Madrasah Qudlat (Hukum).
- Madrasah Tijarah (Dagang).
- Madrasah Nijarah (Pertukangan).
- Madrasah Zira'ah (Pertanian).
- Madrasah Fuqara' (untuk orang-orang fakir).
- Madrasah Iktisosiyah (Khusus).
Pada dekade tiga puluhan sebagaimana disebutkan diatas adalah masa-masa uforia menuju pergerakan kemerdekaan bangsa Indonesia, pada dekade ini pula muncul tantangan-tantangan terhadap ummat Islam baik itu pelecehan terhadap Islam maupun tekanan-tekanan dari pemerintahan kolonial Belanda. Dalam keadaan yang demikianlah pada tahun 1937 Nahdlatul Ulama mempelopori persatuan ummat Islam di seluruh Indonesia dengan mensponsori pertemuan tokoh-tokoh organisasi Islam Indonesia yang dilaksanakan di Surabaya pada tanggal 18-21 September 1937. pertemuan organisasi-organisasi Islam ini kemudian membidani lahirnya Majlis Islam A'la Indonesia (MIAI), yang anggota-anggotanya terdiri dari PSII, Muhammadiyah, Al-Islam, POI, Al-Irsyad Cabang Surabaya, Hidayatullah Islamiyah Banyuwangi, pada pertemuan itu disepakati pula untuk membentuk kepengurusan MIAI dengan susunan dewan sebagai berikut:
Ketua Dewan : K.H. Abdul Wahid Hasyim, PB NU
Wakil Ketua Dewan : W. Wondoamiseno, LT PSII
Sekretariat (ketua) : H. Faqih Usman, HB. Muhammadiyah
Penulis : S.A. Bahresy, HB PAI
Bendahara : Sastrawidirya dari PERSIS
Anggota-anggota : - S. Umar Hubeis dari HB Al Irsyad
- K.H. Mas Mas Mansur dari HB Muhammadiyah
- Dr. Sukiman dari HB. PII
Keaktivan NU mempelopori kelahiran MIAI ini menunjukkan tingginya kepedulian NU terhadap persatuan dan kesatuan ummat Islam yang saat itu sering dilanda konflik internal hanya karena masalah sepele. Pentingnya persatuan dan kesatuan ummat memang saat itu disadari betul oleh para pendiri MIAI sehingga tidak heran kalau motto yang digunakan MIAI pun adalah ayat Al-Qur’an yang menyeru kepada persatuan dan kesatuan itu yakni suroh Ali Imran ayat 103 yang berbunyi:
واعتصموا بحبل الله جميعا ولا تفرقوا ...
Artinya : Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.

Keberhasilan NU menduduki posisi Ketua Dewan MIAI menunjukkan bahwa ulama sangat berpengaruh dalam pergerakan ummat Islam. Posisi sebagai ketua Dewan MIAI ini juga telah bisa menutupi kelemahan NU yang saat itu relative minim memiliki kader-kader intelektual yang sangat dibutuhkan dalam lapangan politik. Hal ini diakui betul oleh Maksoem Mahfoedz sebagaimana dalam tulisannya:
Begitulah perkumpulan NU setapak demi setapak telah berhasil meluaskan pengaruhnya, kecuali itu NU telah berhasil menutupi kelemahan dirinya yaitu kekurangan tenaga intelektual yang sangat dibutuhkan dalam lapangan politik. Perjuangan politik tidak hanya cukup dengan bermodalkan jumlah massa yang banyak saja, ia membutuhkan taktik strategi yang direncanakan secara baik. Dengan begitu maka kelahiran MIAI adalah merupakan tangga bagi NU kedalam dunia politik, dimana tenaga mobil (intelektual) dikalangan NU yang jumlahnya hanya sedikit itu tergabung dengan tenaga yang datang dari perhimpunan Islam lainnya.

Kebersatuan tokoh-tokoh Islam dalam MIAI sedikit banyak telah menambah kekuatan perjuangan ummat Islam melawan penjajah Belanda bahkan berdirinya MIAI sangat mengejutkan Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada masa itu. Hal ini bisa dipahami karena memang Belanda sangat tidak menghendaki persatuan bangsa Indonesia, alih-alih menghendaki persatuan mereka malahan menerapkan politik devide at infera.
Kekalahan Belanda terhadap tentara Jepang betul-betul telah mengubah peta perjuangan politik bangsa Indonesia. Kalau dulu Gubernur Jenderal Hindia Belanda berusaha mengaburkan ajaran-ajaran agama Islam, menekan, membatasi gerak langkah, membungkam suara ummat Islam maka pemerintah penjajah Jepang menggunakan cara lain. Pemerintah Jepang bisa dikatakan lebih bersikap lunak kepada ummat Islam. Hal ini secara jelas diuraikan oleh Deliar Noer dalam bukunya Partai Islam di Pentas Nasional sebagai berikut:
Berbeda dari pemerintah Belanda, memang pihak Jepang sangat banyak menaruh perhatian kepada gerakan dan perkembangan ummat Islam. Tampaknya mereka mendorong dan memberi prioritas kepada kalangan Islam dalam mendirikan organisasi mereka sendiri, sedangkan organisasi kalangan nasionalis yang netral agama tidak digalakkan. Untuk pertama kali dalam sejarah modern, pemerintah di Indonesia secara resmi memberi tempat yang penting kepada kalangan Islam.

Politik Jepang mendekati ummat Islam ini adalah supaya mereka (pemerintah Jepang) nantinya bisa memperalat kekuatan ummat Islam untuk kepentingan penjajahan mereka. Kelunakan sikap pemerintah Jepang terhadap pergerakan ummat Islam betul-betul dimanfaatkan oleh tokoh-tokoh muda organisasi Islam kala itu. Wahid Hasyim yang kala itu sudah tidak lagi menjabat sebagai ketua MIAI karena mengundurkan diri, berusaha kembali mengumpulkan tokoh-tokoh muda Islam melalui wadah MIAI. Dengan wadah MIAI maka dilakukanlah penjajakan untuk mendirikan organisasi lain yang mampu memberesi segala macam persoalan kemasyarakatan, baik yang bersifat social maupun yang bersifat politik. Ternyata penjajakan K.H. Wahid Hasyim tersebut berhasil dengan didirikannya Majelis Syuro Muslimin Indonesia atau disingkat dengan Masyumi. Untuk memimpin Masyumi ini maka K.H. Wahid Hasyim dipercaya menjadi ketuanya. Setelah Masyumi berdiri maka MIAI pun dibubarkan.


Bergabung dengan Masyumi
Pada masa penjajahan Jepang Masyumi menjadi satu-satunya badan federasi perhimpunan organisasi-organisasi Islam dan tempat bermusyawarahnya tokoh-tokoh Islam dalam merencanakan perjuangan kemerdekaan. Mengani hal ini Kacung Marijan mencatat sebagai berikut:
Pada masa Jepang ini kegiatan NU dilapangan politik kian jelas meski disalurkan lewat Masyumi dan bersikap oportunistik terhadap Jepang. Lembaga-lembaga, tempat memobilisasi massa seperti Pusat Tenaga Rakyat, dimasukinya. Sebagai pimpinan Masyumi, K.H. Hasyim Asy’ari menjadi penasehat utama di dalamnya. Ketika Jepang membentuk Peta (Pembela Tanah Air), NU lewat K.H. Wahid Hasyim, meminta kepada Jepang agar para santri juga dilibatkan. Maka dibentuklah Hizbullah-tempat para santri, dan Sabilillah-tempat para Kiyai. Lewat lembaga inilah NU mengenal kemiliteran dan berinteraksi dengan militer pada awal-awal kemerdekaan.

Meski sikap politik NU dianggap oportunistik terhadap Jepang tapi pada saat-saat tertentu NU berani bersikap tegas terhadap penguasa Jepang apalagi bila kebijakan pemerintah Jepang itu dinilai bertentangan dengan akidah ummat Islam. Sejarah mencatat bagaimana bahwa ketika Jepang mewajibkan setiap orang harus menghormati kaisar Jepang dengan membungkuk ke Timur (bahasa Jepang : seikerei), NU menolak dengan tegas, K.H Zainal Mustafa dari Singaparna (Jawa Barat) mengangkat senajata. Walau kemudian dapat dipadamkan tapi jelas NU pernah melakukan perlawanan bersenjata terhadap Jepang bahkan pemimpin NU K.H. Hasyim Asy’ari dan Mahfudz Siddiq pernah ditangkap dan dipenjara selama empat bulan oleh pemerintah Jepang.
Kekalahan Jepang oleh tentara sekutu pada tahun 1945 telah menyebabkan lumpuhnya kekuatan Jepang. Kekalahan Jepang tersebut betul-betul dimanfaatkan oleh tokoh-tokoh pergerakan Indonesia untuk memperoklamirkan kemerdekaan Bangsa Indonesia. Maka pada tanggal 17 Agustus 1945 secara resmi Soekarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan bangsa Indonesia dan sejak saat itu perjuangan mempertahankan kemerdekaanpun dimulai.
Sebagaimana disebutkan pada Bab I bahwa berdirinya Negara Republik Indonesia didahului oleh perdebatan yang sengit antara tokoh-tokoh nasionalis Islami dengan tokoh-tokoh nasionalis sekuler perihal dasar Negara dalam siding-sidang BPUPKI. Maka pasca kemerdekaanpun kelompok nasionalis Islam masih tetap merasa perlu untuk menyatukan persepsi dan wadah perjuangan politik guna memperjuangkan gagasan-gagasan politiknya dimasa-masa yang akan datang. Oleh sebab itu pada tanggal 7 November 1945 seiring dengan keluarnya maklumat pemerintah yang ditandatangani oleh Wakil Presiden Muhammad Hatta yang berisi anjuran tentang berdirinya partai-partai politik maka Masyumi pun secara resmi dideklarasikan sebagai satu-satunya wadah perjuangan (partai) politik ummat Islam.
Pada awalnya posisi tokoh-tokoh NU dalam partai politik Masyumi cukup dihargai, kendati Pengurus Besar lebih banyak diisi oleh kaum pembaharu yang sehari-harinya menjalankan kepengurusan partai akan tetapi semua keputusan partai terutama yang berkaitan dengan masalah Agama harus terlebih dahulu dikonsultasikan dengan Majelis Syuro dan keputusan perundingan dengan Majelis Syoro menjadi keputusan tertinggi. Majelis Syuro partai inilah yang dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy’ari dan kepengurusannya didominasi oleh tokoh-tokoh ulama NU.
Pada tahun-tahun pertama berdirinya Masyumi, NU betul-betul mencurahkan seluruh potensinya untuk membesarkan partai tersebut akan tetapi sejak muktamar Masyumi ke-4 di Yokyakarta tanggal 15-19 Desember 1949 dimana muktamar memutuskan untuk mengurangi peranan dan wewenang Majelis Syuro yang notabenenya diisi oleh tokoh-tokoh ulama maka NU pun merasa kecewa. Kekecawaan NU ini bisa dipahami karena bagaimanapun juga Masyumi sebagai partai Islam tidak selayaknya mengurangi wewenang ulama dalam pengelolaan partai.
Semenjak Muktamar Masyumi ke IV tersebut konflik ditubuh Masyumi antara kelompok ulama (NU) dengan kelompok Islam pembaharu mulai sering terjadi. Apalagi saat itu sesungguhnya Masyumi bukan lagi satu-satunya partai Islam karena pada 1947 tokoh-tokoh PSII sudah keluar dari Masymi dan membentuk partai sendiri. Jadilah hari demi hari kekuatan Masyumi semakin rapuh.
Kendati posisi tokoh-tokoh NU dalam partai Masyumi terus dieliminer akan tetapi NU masih terus berusaha untuk mengadakan pendekatan kepada kelompok-kelompok pembaharu dalam Masyumi, dan untuk pendekatan itu sebagaimana disebutkan oleh Saifuddin Zuhri dan kemudian dikutip oleh Lathiful Khuluq maka pada Muktamar ke-17 di Madiun 25 Mei 1947, NU mendirikan Biro Politik untuk bernegosiasi dengan kalangan modernis Muslim yang mendominasi kepemimpinan Partai Masyumi dan untuk memperkuat kekuatan tawar menawar NU dalam organisasi ini. Bahkan untuk menyelamatkan persatuan ummat Islam NU mengusulkan supaya Masyumi dikembalikan menjadi badan federasi Organisasi-Organisasi Islam, sehingga tidak mencampuri urusan rumah tangga dari masing-masing organisasi yang bergabung di dalamnya. Namun permintaan ini tidak digubris, sehingga memaksa Nahdlatul Ulama untuk mengambil keputusan pada muktamar NU di Palembang, tanggal: 28 April s/d 1 Mei 1952 untuk keluar dari Masyumi, berdiri sendiri dan menjadi Partai.


Membentuk Liga Muslimin
Setelah Nahdlatul Ulama keluar dari Masyumi, Jam'iyyah NU yang sudah menjadi Partai Politik ternyata masih gandrung pada persatuan ummat Islam Indonesia. Untuk itu Nahdlatul Ulama mengadakan kontak dengan PSII dan PERTI membentuk sebuah badan yang berbentuk federasi dengan tujuan untuk membentuk masyarakat Islamiyah yang sesuai dengan hukum-hukum Allah dan sunnah Rasulullah saw. Gagasan NU ini mendapat tanggapan yang positif dari PSII dan PERTI sehingga pada tanggal 30 Agustus 1952 diakan pertemuan yang mengambil tempat di gedung Parlemen RI di Jakarta, lahirlah Liga Muslimin Indonesia yang anggotanya terdiri dari Nahdlatul Ulama, PSII, PERTI dan Darud Dakwah Wal Irsyad.


Menjadi Partai Politik Tersendiri
Masa pemerintahan orde lama adalah masa diterapkannya sistem demokrasi liberal. Sejalan dengan dikembangkannya sistem demokrasi liberal ini, maka seperti disebutkan diatas keberadaan Masyumi sebagai wadah tunggal aspirasi politik umat Islam mengalami goncangan. Goncangan pertama terjadi pada bulan Juli 1947, yaitu dengan keluarnya unsur PSII dalam Masyumi. Goncangan yang paling dahsyat bagi Masyumi terjadi setelah NU mengikuti jejak PSII untuk meninggalkan Masyumi berdasarkan keputusan Muktamar NU di Palembang pada tanggal 29 April 1952. Keputusan NU ini kemudian disusul oleh PERTI. Dari sinilah awal kiprah kepartaian NU yang dilakukan secara mandiri.
Segera setelah keluar dari Masyumi, NU pun mempersiapkan diri untuk mengikuti Pemilihan Umum pertama pada tahun 1955. Persiapan NU menghadapi Pemilu 1955 benar-benar mencapai kepuasan tersendiri bagi warga Nahdlyyin dimana hasil Pemilu 1955 tersebut menempatkan NU sebagai Partai Politik terbesar ketiga setelah PNI dan Masyumi dengan perolehan suara masing-masing PNI memperoleh 22,3 % (57 kursi), Masyumi memperoleh 20,9 % (57 kursi) dan NU memperoleh 18,4% (45 kursi) dan PKI 16,4% (37 kursi). Menanggapi perolehan suara ini Daniel Dakidae, sebagaimana dikutip oleh Einar Martahan Sitompul mengatakan bahwa apabila dibandingkan dengan keadaan sebelumnya dalam Dewan Perwakilan Rakyat Sementara maka NU mendapat hasil yang mengagumkan, yaitu 8 kursi menjadi 45 kursi, sedangkan PNI dan Masyumi meningkat sedikit (PNI naik dari 42 menjadi 57 dan Masyumi dari 44 menjadi 57).
Kalau diperhatikan hasil Pemilu 1955 tersebut boleh dikatakan bahwa Pemilu 1955 itu tidak menghasilkan satu kekuatan politik yang dominant, yang ada adalah persaingan sengit diantara empat partai besar pemenang Pemilu, hal ini tentunya berdampak besar terhadap pengambilan keputusan di Majelis Konstituante dimana ketika Majelis bersidang yang timbul adalah perdebatan alot tentang dasar Negara yang pada akhirnya Majelis tidak bisa mengambil keputusan tentang dasar bernegara. Melihat perdebatan yang berlarut-larut inilah pada akhirnya Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit Presiden 5 Juli 1959 sebagai berikut :
1. Pembubaran konstituante.
2. Kembali pada Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara 1950.
3. Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara.
Peranan perpolitikan NU kalau diamati mengalami pasang naik dan juga ada pasang surutnya. Penurunan peran NU dalam politik menurut catatan Ali Mas’ud adalah Setelah pemerintah Orde Lama menerapkan sistem demokrasi terpimpin sebagai ganti dari sistem demokrasi liberal, yaitu setelah pemerintahan Soekarno membubarkan parlemen hasil PEMILU 1955 karena dianggap gagal melakukan tugasnya berdasarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959. Ali Mas’ud lebih lanjut menyebutkan bahwa penurunan ini menyebabkan timbulnya perbedaan sangat tajam yang menjurus pada perpecahan antara Masyumi dan Liga Muslimin (NU, PSII, dan Perti) dalam menyikapi diterapkannya demokrasi terpimpin. Masyumi secara tegas menyatakan menolak, sementara Liga Muslimin yang dipelopori oleh NU menyatakan menerima. Masyumi bahkan menilai bahwa ikut serta dalam demokrasi terpimpin Soekarno yang otoriter merupakan penyimpangan terhadap ajaran Islam. Akan tetapi, Liga Muslimin menganggapnya sebagai sikap realistis dan pragmatis. Menurut Fachry Ali dan Bachtiar Efendy, keikutsertaan Liga Muslimin, terutama NU, hanya bersifat strategis dan bukan berarti idealismenya bergeser. Sebagai implikasi dari kerasnya penolakan Masyumi ini, maka pada tahun 1960 pemerintah rezim Soekarno memerintahkan agar Masyumi bubar.
Ketika terjadi pemberontakan Komunis pada tanggal 30 September 1965, kepeloporan Nahdlatul Ulama muncul dan mampu mengimbangi kekuatan anti Tuhan yang menamakan dirinya PKI (Partai Komunis Indonesia). Sikap Nahdlatul Ulama pada saat itu betul-betul sempat membuat kejutan pada organisasi-organisasi selain NU. NU secara terang-terangan bersama dengan rakyat dan TNI tampil kedepan dalam menumpas dan menumbangkan PKI.
Kepeloporan dan keberhasilan NU dalam menumpas PKI menjadikan nama NU semakin harum dalam pentas perpolitikan nusantara. Posisinya pun semakin kuat pasca tumbangnya kekuatan PKI. Nahdlatul Ulama sendiri dalam hal rencana perjuangannya yang terperinci, mengalami pembauran kepentingan partai dengan kepentingan pribadi dari para pimpinannya. Oleh sebab itu, pada sekitar tahun 1967, Nahdlatul Ulama yang sudah berada di puncak mulai menurun. Hal ini disebabkan antara lain oleh pergeseran tata-nilai, munculnya tokoh-tokoh baru, ketiadaan generasi penerus dan lain sebagainya.
Sebetulnya pergeseran tata-nilai ini terjadi di saat Nahdlatul Ulama menghadapi Pemilihan Umum tahun 1955. Nahdlatul Ulama harus mempunyai anggota secara realita, terdaftar dan bertanda anggota secara pasti. Demi pengumpulan suara, maka apa-apa yang menjadi tujuan Nahdlatul Ulama, kini dijadikan nomor dua. Partai Nahdlatul Ulama membutuhkan anggauta sebanyak-banyaknya, sekalipun mereka bukan penganut aliran Ahlus Sunnah Wal Jama'ah. Akibat dari pergeseran nilai inilah yang membuat kabur antara tujuan, alat dan sarana. Sebagai Partai Politik yang militan, Nahdaltul Ulama harus berusaha agar dapat merebut kursi Dewan Perwakilan Rakyat sebanyak mungkin; demikian pula halnya jabatan-jabatan sebagai menteri. Hal itu dimaksudkan sebagai alat untuk dapat melaksanakan program dalam mencapai tujuan partai. Akan tetapi karena pengaruh lingkungan dan juga karena pergeseran nilai, maka jabatan-jabatan yang semula dimaksudkan sebagai alat yang harus dicapai dan dimiliki, kemudian berubah menjadi tujuan. Dan hal ini sangat berpengaruh bagi kemajuan dan kemunduran partai dalam mencapai tujuan.
Kalau diamati perjalanan NU pada masa orde lama ternyata banyak juga jasa-jasa yang ditorehkan oleh NU dalam aktivitas politiknya. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Ali Mas’ud :
Selama NU berkiprah di panggung politik praktis pada era Orde Lama, ternyata banyak prestasi yang disandangnya, diantaranya adalah : Pertama, penyelenggaraan PEMILU pertama diserahkan kepada sebuah panitia PEMILU yang anggotanya terdiri dari wakil-wakil partai politik. Jadi, tidak dilaksanakan oleh pemerintah. Hal yang demikian dikenang dan dicatat oleh sejarah sebagai PEMILU yang diselenggarakan berdasarkan policy Menteri Dalam Negeri Mr. Soenarjo (dari NU). Pada PEMILU ini, NU meraih 45 kursi di parlemen (DPR), tidak jauh selisihnya dari perolehan Masyumi dan PNI yang masing-masing menempatkan 57 wakil di lembaga parlemen. Kedua, lahirnya PP 10 yang isinya membatasi aktifitas ekonomi para pengusaha asing serta bertujuan memproteksi dan mendorong agar para pengusaha pribumi dapat berkembang. PP ini lahir pada saat Departemen Perdagangan dipimpin oleh Menteri dari NU, yaitu Drs. Rahmat Mulyoamiseno. Ketiga, penggagasan berdirinya masjid Istiqlal oleh KHA. Wahid Hasyim, Menteri Agama saat itu, dan disetujui Presiden Soekarno. Adapun pelaksanaannya direalisasikan pada masa Departemen Agama dipimpin oleh menteri dari NU (KHM. Ilyas).Keempat, penggagasan pendirian IAIN oleh KH. Wahib Wahab (Menteri Agama saat itu).Kelima, realisasi penerjemahan al-Qur’an kedalam bahasa Indonesia (pada masa Depag dipimpin oleh menteri dari NU, Prof. KH. Syaifuddin Zuhri). Keenam, penyelenggaraan kegiatan Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) yang diprakarsai oleh Menag dari NU, yaitu K.H.M Dahlan, yang di kemudian hari menjadi acara nasional, silaturrohmi para qori’ dan huffadz se-tanah air. Ketujuh, penggagalan terbentuknya "Kabinet Kaki Empat" (PNI-PKI-Masyumi-NU), perlawanan langsung terhadap aksi-aksi PKI disegala bidang. Ketika Prof. Dr. Hamka dihantam PKI, NU melalui media massa yang dimiliknya, yaitu surat kabar harian Duta Masyarakat (Dumas) secara terang-terangan membela Hamka. Puncak dari perlawanan NU terhadap PKI adalah gagalnya G 30 S PKI. NU tercatat sebagai partai politik pertama yang mengusulkan kepada Presiden Soekarno agar PKI dibubarkan. Sikap tegas ini dicetuskan oleh NU pada tanggal 5 Oktoberr 1965 ketika masyarakat Indonesia masih bersikap ragu-ragu tentang siapa yang menjadi arsitek gerakan 30 S/PKI. Kedelapan, ketika HMI dan Gasbindo diancam akan dibubarkan oleh pemerintah yang dipengaruhi oleh PKI, Prof KH. Syaifuddin Zuhri (Menteri Agama) membelanya dengan jabatannya sebagai garansinya.

Pada pemilu tahun 1971, Nahdlatul Ulama keluar sebagai pemenang nomor dua. Hal tersebut membawa anggapan baru bagi masyarakat umum bahwa sebenarnya kepengurusan Nahdlatul Ulama adalah sebagai hal yang luar biasa; sementara di pihak lain terdapat dua partai yang tidak mendapatkan kursi sama sekali, yaitu Partai MURBA dan IPKI yang berarti aspirasi politiknya terwakili oleh kelompok lain. Dari sinilah timbul gagasan untuk menyederhanakan partai-partai politik.
Kehendak menyederhanakan partai-partai politik tersebut, datangnya memang bukan dari Nahdlatul Ulama. Akan tetapi Nahdlatul Ulama menyambut dengan gembira. Dan dalam penyederhanaan tersebut Nahdlatul Ulama' tidak membentuk federasi, akan tetapi melakukan fusi. Maka sebagai hasil dari penyederhanaan partai-partai tersebut muncullah dua partai politik peserta pemilu yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) ditambah satu Golongan Karya. NU sendiri bersama partai-partai Islam lainnya saat itu berfusi menjadi PPP.


Berfusi dengan PPP
Posisi NU di struktur kepengurusan PPP relatif cukup strategis, Umaidi Rai menjelaskan tentang posisi NU tersebut sebagai berikut:
NU sebagai partai yang terbesar memperoleh kedudukan penting seperti Ketua Rais Am, Presiden Partai, Ketua MPP (Majelis Pertimbangan Partai) dan Sekretaris Jenderal dan sejumlah jabatan lainnya. Parmusi sebagai partai kedua terbesar, mendapat jabatan penting sebagai Ketua Umum merangkap Wakil Presiden, dan sejumlah jabatan lainnya. PSII memperoleh jabatan-jabatan sebagai Wakil Ketua Umum MPP, Perti memperoleh jabatan-jabatan Wakil Presiden, Wakil Ketua MPP, Ketua dan beberapa jabatan lainnya.

Posisi-posisi strategis yang diamanahkan oleh PPP betul-betul dimanfaatkan oleh tokoh-tokoh NU untuk membesarkan partai Islam tersebut. Pada tahap-tahap awal kekompakan dikalangan pengurus PPP penuh dengan semangat ukhuwah dan dengan bahu-membahu lantang menyuarakan aspirasi Islam di DPR. Kelantangan NU melalui PPP dalam menyuarakan aspirasi Islam di DPR oleh sebagaian kalangan sangat mengejutkan mengingat ketika masa orde lama NU terkenal sangat akomodatif dan fleksibel. Mengenai sikap NU ini Fahri Ali menilai bahwa NU pada masa orde baru telah berubah menjadi kelompok yang berani menetang arus, rigid dan tidak goyah dalam pendirian. Akan tetapi menurut pendapat yang lain bahwa factor K.H. Bisri Sansoeri yang terkenal keraslah yang menyebabkan NU berpendirian keras pada masa orde baru dan kekerasan Bisri Sansoeri ini juga dinilai menyebabkan posisi NU disegani di PPP. Hal ini bisa dibuktikan bahwa setelah K.H Bisri Sansoeri meninggal pada tahun 1980 maka kekompakan di tubuh PPP pun mulai rusak dan berganti dengan pertikaian.
Sebetulnya ada banyak faktor yang menyebabkan retaknya PPP sepeninggal Bisri Sansoeri, akan tetapi dari sekian banyak faktor tersebut bisa disimpulkan bahwa sesungguhnya pemarjinalan terhadap posisi tokoh-tokoh NU oleh pengurus PPP dari kelompok lainlah yang menjadi paktor utamanya. Keretakan PPP dan tereliminirnya posisi tokoh-tokoh NU di PPP meyebabkan timbulnya bipolarisasi dalam tubuh NU sendiri. Tentang timbulnya bipolarisasi ini Maksoem Mahfoedz menguraikan munculnya tiga kelompok yang masing-masing berebut pengaruh yaitu:
1. Kelompok yang menghendaki politik praktis. Kelompok ini adalah kelompok DR. K.H. Idham Chalid yang Ketua Umum.
2. Kelompok yang menghendaki NU kembali pada NU 26. dalam kelompok ini tertampung para Kiyai yang dalam menyebarkan ajaran NU tidak membutuhkan jabatan formal dalam NU, mereka itu antara lain K.H. Abdul Hamid Pasuruan, K.H. Ahmad Siddiq Jember, K.H. Ali Maksum Krapyak-Yogyakarta
3. Kelompok yang mengehendaki NU kembali pada tahun 1926 tetapi juga tidak meninggalkan politik. Dalam kelompok ini terdapat nama H.M. Yusuf Hasyim, Ketua I PB NU.
Keterdesakan posisi tokoh-tokoh NU di PPP dan bipolarisasi yang terjadi di tubuh NU memang menjadi pengalaman politik yang cukup pahit bagi NU. Dalam suasana yang demikian Pemilu 1982 pun semakin dekat, dan untuk menanggapi kondisi tersebut PB Syuriah NU mengadakan rapat pleno tanggal 29 Januari 1982. dalam rapat itu ditegaskan bahwa kemelut dalam tubuh NU dan NU dengan PPP harus diselesaikan secara tuntas. NU juga akan mempertimbangkan kedudukannya dalam PPP.


Kembali ke Khittah
Sebetulnya gagasan supaya NU kembali ke Khittah 1926 sudah lama disuarakan walaupun hanya dari sebahagian kecil tokoh-tokoh NU. Gelombang gagasan untuk kembali ke khittah tersebut setidaknya sudah disampaikan pada beberapa kali muktamar. Kacung Marijan menuliskan bahwa pada Muktamar ke-22 di Jakarta tanggal 13-18 Desember 1959 K.H Achyat Chalimi Juru Bicara Cabang Mojokerto sudah mengajak para muktamirin supaya kembali ke khittah akan tetapi ajakan K.H. Achyat itu ditanggapi sepi oleh para peserta muktamar. Kemudian pada Muktamar NU ke-25 di Surabaya, Rois Am PB NU K.H. Wahab Hasbullah dalam pidato iftitah-nya menyampaikan sebagai berikut:
Kaum Nahdliyyin-Nahdliyyat agar kembali kepada Nahdlatul Ulama atahun 1926. tentulah yang dimaksud bahwa sekalipun kita berjuang di tahun 1971, namun kita harus tetap berjiwa NU tahun 1926. kita akan selamanya tetap setia kepada aqidah dan Himmah Ahlussunnah wal Jama’ah.

Pada Muktamar ke-26 di Semarang tanggal 5-11 Juni 1979 di Semarang Gagasan untuk Kembali Ke Khittah 1926 mulai menguat dan mulai ramai mendapat tanggapan dari muktamirin akan tetapi saat itu keterlibatan dalam politik praktis masih lebih kuat pengaruhnya ketimbang seruan untuk kembali ke khittah.
Pasca Pemilu 1982 seruan untuk kembali ke khittah terus menggelinding sehingga isu untuk kembali ke khittah dijadikan sebagai salah satu agenda utama pada Munas Alim Ulama 21 Desember 1983 di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo-Situbondo. Bahkan salah satu diantara tiga komisi bernama Komisi Khittah yang membahas landasan perjuangan NU, termasuk didalamnya pembahasan asas tunggal dan struktur organisasi. Bahkan materi pemulihan khittah sebetulnya sudah lama digodok dan terakhir dirumuskan oleh Tim Tujuh, tim yang diisi oleh tujuh orang intelektual muda NU yang basicnya tidak hanya bersentuhan dengan nilai-nilai pesantren tetapi juga nilai-nilai yang sifatnya kosmofolit. Tujuh orang intelektual muda NU itu terdiri dari H. Abdurrahman Wahid (Ketua), M. Zamroni (Wakil Ketua), H.M. Said Budairy (Sekretaris), H. Mahbub Djunaidi (Anggota), dr. Fahmi D. Saifuddin (Anggota), H.M. Daniel Tanjung (Anggota) dan Ahmad Bagja (Anggota).
Pada Munas ini para para ulama non politisi mendukung sepenuhnya gagasan intelektual muda untuk kembali ke khittah. Akan tetapi itu bukan berarti perjalanan untuk kembali ke khittah berjalan mulus sepenuhnya. Para politisi yang masih ingin agar NU berada di PPP tidak begitu saja setuju, karena kembali ke khittah berarti keluarnya NU dari PPP, namun karena ini merupakan Munas Alim Ulama pengaruh kelompok politisi ini menjadi sangat kecil. Dan pada akhirnya Munas menyepakati supaya NU kembali ke Khittah 1926. Kesepakatan Munas ini kemudian diperkuat kembali pada Muktamar ke-27 di Situbondo. Sejak saat itulah sampai sekarang NU sudah kembali ke khittah perjuangan semula yaitu khittah 1926.


Faham Keagamaan NU
Nahdlatul Ulama sebagai organisasi kemasyarakatan Islam secara tegas menyatakan diri sebagai penganut faham Ahlussunnah wal jama’ah. Menurut kitab Al-Mausu’ah Al-Arabiyah Al-Muyasarah sebagai mana dikutip oleh Muhammad Tholhah Hasan pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah adalah sebagai berikut :
Ahlussunah wal jama’ah adalah mereka yang mengikuti dengan konsisten semua jejak langkah yang berasal dari Nabi Muhammad s.a.w. dan membelanya. Mereka mempunyai pendapat tentang masalah agama baik yang fundamental (ushul) maupun divisional (furu’). Sebagai bandingan Syi’ah. Diantara mereka ada yang disebut “Salaf”, yakni generasi awal mulai dari Sahabat, Tabiin, dan Tabi’ut Tabi’in, dan ada juga yang disebut “Kholaf”¸ yaitu generasi yang datang kemudian. Diantara mereka ada yang toleransinya luas terhadap peran akal, dan ada pula yang membatasi peran akal secara ketat. Diantara mereka juga ada yang bersifat reformatif (mujaddidun) dan diantaranya lagi bersifat konserfativ (muhafidun). Golongan ini merupakan mayoritas umat Islam.

Menurut Tholhah Hasan, dalam Kajian Ilmu Kalam, istilah Ahlussunnah wal-Jama’ah ini sudah banyak dipakai sejak masa Sahabat, sampai generasi-generasi berikutnya. Lebih lanjut Tholhah Hasan menyebutkan bahwa penyebutan Ahlussunnah wal jama’ah ini juga digunakan untuk membedakan kelompok ini dari kelompok lain seperti Syi’ah, Khowarij, Murji’ah dan Mu’tazilah.
Dalam faham dan tradisi keagamaan NU, Ahlussunnah wal-Jama’ah dirumuskan sebagai berikut : Dalam bidang Fiqh mengikuti salah satu mazhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali), dalam bidang aqidah mengikuti mazhab Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi, dan dalam bidang tasawuf mengikuti thoriqoh Imam Junaid Al-Bagdadi dan Imam Al-Ghazali.
H.M. Ridwan Lubis mengatakan bahwa pemikiran Ahlussunah wal jama’ah pada dasarnya adalah meluruskan kembali jalan pikiran umat Islam baik yang ifrath (liberalisme) maupun tafrith (fundamentalisme) supaya kembali ke jalur yang sebenarnya. Menurut Ridwan Lubis jalan pikiran Ahlussunnah wal Jama’ah ini menegaskan perlunya kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah namun harus melalui jalur yang telah teruji keshahihannya (syuhud ‘ain al syari’at) bukan sekedar semboyan. Karena menurut Ridwan Lubis kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah tanpa melalui jalur yang benar dikhawatirkan akan semakin menjauhkan umat dari ruh Islam karena dominasi hawa nafsu yang lebih menentukan.
Dalam menggambarkan pola berpikir orang-orang NU yang menganut faham Ahlussunnah wal-jamaah ini Ridwan Lubis mengungkapkan sebagai berikut:
Pemikiran Ahlussunnah wal-Jama’ah dari kalangan NU didasarkan kepada methode berfikir al tawasuth dan al i’tidal. Yang dimaksud dengan pemikiran al tawasuth adalah methode berfikir yang selalu mengambil jalan tengah. Di satu sisi menekankan keabsolutan teks wahyu dan di sisi lain juga memberikan kesempatan kepada pemikiran manusia untuk berkembang. Dalam pandangan NU jalan pikiran ini merupakan pilihan terbaik karena dengan demikianlah kebenaran Islam dapat ditunjukkan tanpa merusak struktur kemasyarakatan yang ada. Oleh karena itu, sekalipun ia menganut prinsip moderasi tidak boleh disimpulkan bahwa NU tidak memiliki prinsip. Prinsip yang dianut NU adalah konsistensi dalam penegakan ajaran Islam sekalipun harus menghadapi berbagai resiko (al-i’tidal).

Dari gambaran yang dikemukakan oleh Ridwan Lubis di atas, maka sesungguhnya kita tidak heran kalau NU dalam setiap aktivitasnya baik itu dalam kehidupan sosial, praktek keberagamaan, maupun dalam prilaku politiknya bisa bersikap toleran, elastis dan akomodatif terhadap nilai-nilai yang ada dimasyarakat. Bahkan sikap moderat (tawassuth), toleran (tasamuh), Harmoni (tawazun), akomodatif terhadap nilai-nilai kultural bangsa, mampu menghargai pihak lain, menciptakan kedamaian di tengah umat, bersikap elastis dalam menghadapi persoalan dan mampu bermitra dengan pemerintah menurut Pagar Hasibuan sudah menjadi ciri khas bagi NU dengan paham Aswajanya.
Kalau kita perhatikan ciri-ciri khas NU sebagaimana yang dikemukakan Pagar Hasibuan di atas, nampaknya ada pengaruh yang signifikan dari pemikiran politik Sunny (ahlussunnah wal jama’ah) terhadap sikap dan pemikiran politik yang diperaktekkan oleh orang-orang NU. Hal ini sebagaimana jelas diungkapkan oleh Lathiful Khuluq ketika mengomentari tentang ide-ide politik K.H. Hasyim Asy’ari:
Ide-ide politik K.H. Hasyim Asy’ari umumnya sejalan dengan doktrin politik sunny sebagaimana yang dikembangkan oleh Al-Mawardi dan Al-Ghazali. Pada dasarnya doktrin ini adalah sangat akomodatif terhadap penguasa. Hal ini dikarenakan doktrin ini dirumuskan ketika dunia politik Islam mengalami kemunduran yang pada gilirannya memunculkan anggapan bahwa posisi rakyat sangat lemah; mereka harus tunduk pada penguasa. Sejalan dengan ini K.H. Hasyim Asy’ari dan tokoh NU yang lain juga akomodatif terhadap penguasa baik yang Muslim maupun non-Muslim.

Begitulah NU dengan paham Ahlussunnah wal-jama’ah yang dianutnya bisa bersikap akomodatif terhadap penguasa dan mampu menerima perbedaan yang ada ditengah-tengah masyarakat. Pengaruh pemikiran politik sunny terhadap NU inilah yang menjadikan NU bisa bersikap toleran, elastis dan bisa bersikap akomodatif terhadap nilai-nilai kultural bangsa.

*********






BAB III
PENETAPAN PANCASILA SEBAGAI ASAS TUNGGAL
DAN RESPON UMMAT ISLAM

”salah satu sosok karakteristik yang esensial dan fundamental yang terlihat secara jelas pada pemerintahan orde baru dibawah kepemimpinan Soeharto adalah intensitas dinamika upaya-upayanya dalam menyebarluaskan, memperkuat dan memantapkan ideologi Negara Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara (Faisal Isma’il)”

Penetapan Pancasila sebagai Asas Tunggal
Perjalanan politik bangsa yang tidak menentu pada masa orde lama akibat banyaknya penyimpangan dan penyelewengan terhadap Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD ’45) ternyata disadari betul oleh pemerintahan orde baru dibawah kepemimpinan Soeharto. Maka untuk melaksanakan pembangunan disegala bidang pemerintahan orde baru pun bertekad untuk mengamalkan Pancasila dan UUD ’45 secara murni dan konsekuwen.
Faisal Isma’il mengemukakan bahwa salah satu sosok karakteristik yang esensial dan fundamental yang terlihat secara jelas pada pemerintahan orde baru dibawah kepemimpinan Soeharto adalah intensitas dinamika upaya-upayanya dalam menyebarluaskan, memperkuat dan memantapkan ideologi Negara Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara.
Presiden Soeharto sendiri menegaskan bahwa orde baru bertujuan mempertahankan, memurnikan wujud dan memurnikan pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945. Dengan demikian, Orde baru tidak lain adalah tatanan seluruh peri kehidupan rakyat, bangsa dan Negara yang diletakkan pada pelaksanaan kemurnian Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Presiden Soeharto dalam berbagai kesempatan berkali-kali mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk terus menghayati dan mengamalkan Pancasila. Dalam sambutannya pada peringatan ulang tahun ke-25 Universitas Gajah Mada tanggal 19 Desember 1974 sebagaimana dikutip oleh Z.S. Nainggolan, Presiden menyampaikan sebagai berikut:
Pancasila adalah milik kita. Kita telah memilikinya, tapi baru merasa memiliki, belum memahami atau menghayati apa yang sebenarnya Pancasila itu. Justru karena itulah saya ingin mengajak …seperti beberapa kali saya nyatakan dalam berbagai kesempatan… untuk memikirkan bersama penghayatan dan penjabaran Pancasila agar dapat dimengerti, diamalkan dan memeberi wujud yang nyata dalam segala segi kehidupan dan tingkah laku kita sehari-hari yang berdasarkan Pancasila.

Selanjutnya saat menyampaikan pidato kenegaraan tanggal 16 Agustus 1975 dihadapan sidang Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden Soeharto menyatakan :
Kita tidak mempersoalkan Pancasila sebagai dasar Negara kita. Kita tidak menyangsikan seujung rambutpun mengenai ketetapan Pancasila sebagai dasar filsafat Negara, yang dapat memberi bimbingan bagi kemajuan kesejahteraan, dan keselamatan bangsa kita. Ajakan saya adalah menjabarkan Pancasila itu dalam rumusan-rumusan yang sederhana dan jelas untuk dipakai sebagai pedoman sikap hidup manusia Pancasila … Ajakan saya adalah agar kita bersama-sama memikirkan penghayatan dan pengamalan Pancasila dalam segala segi kehidupan dan tingkah laku kita sehari-hari.

Pada tahun berikutnya tepatnya tanggal 12 April 1976 untuk pertama sekali Presiden mengemukakan gagasannya mengenai pedoman menghayati dan mengamalkan Pancasila yang beliau beri nama Ekaprasetia Pancakarsa yang mana kemudian gagasannya tersebut dicantumkan dalam Tap MPR RI Nomor : II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa).
Gagasan Pemerintah orde baru untuk melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekwen sebetulnya sudah sangat nyata pada tahun 1973 yaitu ketika diusulkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Partai Politik dan Golongan Karya kepada DPR. Dalam pasal 2 RUU tersebut dicantumkan : “Azaz partai politik dan Golongan Karya adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945”.
RUU tentang Parpol dan Golkar ini pada saat itu tidak serta merta diterima oleh semua fraksi di DPR. Fraksi PPP dengan gigih menyuarakan supaya disamping Pancasila dan UUD 1945, Islam dimasukkan sebagai asas. Selain itu supaya asas Islam dicantumkan secara tegas dalam pasal 2 RUU tersebut. Tetapi usaha ini tidak berhasil. Islam hanya dicantumkan dalam penjelasan pasal tersebut.
Gagasan paling intensip untuk menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas disampaikan sejak tahun 1980. Presiden Soeharto dalam amanatnya pada pembukaan Rapat Pimpinan ABRI di Pekan Baru Riau tanggal 27 Maret 1980, menyinggung soal proses penyusunan RUU Parpol dan Golkar. Soeharto mengemukakan bahwa menurut Undang-undang ini yang masih mencantumkan adanya asas pokok dan asas ciri, menunjukkan bahwa masih ada Parpol yang belum sepenuhnya percaya kepada Pancasila sebagai satu ideologi. Ini juga merupakan bukti bahwa mereka masih ragu dengan Pancasila. Presiden kemudian mengajak ABRI untuk berhati-hati dalam memilih kawan, karena terbukti masih ada golongan yang belum sepenuhnya percaya kepada Pancasila.
Pada tanggal 16 April 1980, Presiden Soeharto kembali menegaskan isi pidatonya tersebut dihadapan upacara hari ulang tahun Kopasanda di Cijantung Jakarta Timur. Kedua pidato presiden ini yang disampaikan dalam waktu berdekatan mengundang perhatian berbagai kalangan dan menimbulkan pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat.
Pihak yang kontra pada tanggal 5 Mei 1980 menyampaikan surat keprihatinan kepada DPR RI agar dengan sungguh-sungguh agar memperhatikan dua isi dua pidato presiden tersebut, yang pada saat itu ternyata telah menimbulkan kecemasan bagi sebahagian masyarkat. Peryataan keprihatinan ini ditandatangani oleh 50 orang tokoh, dan kemudian terkenal dengan nama “Petisi 50”.
Z.S. Nainggolan mencatat bahwa diantara tokoh-tokoh yang tidak mendukung RUU tentang asas Parpol dan Golkar dan Ormasy itu termasuk didalamnya Jenderal TNI (Purnawirawan) Dr. H. Abdul Haris Nasution, Abdul Qodir Jaelani, M. Natsir dan Drs. Andi Mapataweng Fatwa.
Pada tanggal 16 Agustus 1982 Presiden Soeharto di depan sidang pleno DPR RI secara resmi mengemukakan “Asas Tunggal Pancasila”. Tidak lama setelah pidato kenegaraan tersebut, pada tanggal 6 November 1982 majelis-majelis agama di Indonesia yang terdiri dari : Majelis Ulama Indonesia (MUI), Dewan Gereja Indonesia (DGI), Majelis Agung Wali Gereja Indonesia (MAWI), Parisada Hindu Dharma Pusat (PHDP) dan Perwakilan Umat Budha Indonesia (WALUBI) menyampaikan sikap bahwa : “Majelis-majelis Agama dan organisasi kemasyarakatan mempunyai asas keyakinan menurut agama masing-masing” dan ini tidak berarti bahwa mereka mengabaikan penghayatan dan pengamalan Pancasila, sebab tujuan mereka adalah: “…untuk membina umatnya masing-masing agar menjadi pengikut/pemeluk agama yang taat, sekaligus warga Negara yang Pancasilais”.
Pada tanggal 6 Maret 1983 keluarlah Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1983 tentang GBHN yang mengatur kehidupan sosial politik, yang menegaskan supaya Partai Politik dan Golongan Karya harus benar-benar menjadi kekuatan sosial politik yang hanya berasaskan Pancasila sebagai satu-satunya asas.
Berhasil dengan kebijakannya memperjuangkan Pancasila sebagi satu-satunya asas bagi Parpol dan Golkar, Pemerintah orde baru semakin melangkah lebih jauh lagi dengan mewajibkan asas tunggal Pancasil tidak hanya bagi Parpol dan Golkar tapi juga bagi seluruh Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Secara berturut-turut kebijakan penetapan asas tunggal bagi Parpol dan Golkar ini kemudian dilegal formalkan melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 tahun 1985 dan penetapan asas tunggal bagi Ormas melalui Undang-Undang Nomor 8 tahun 1985. Sejak disyahkannya kedua Undang-Undang ini maka sejak saat itu Pancasila sebagai asas tunggal mulai berlaku secara efektif diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.


Respon Ummat Islam Terhadap Penetapan Pancasila sebagai Asas Tunggal

Dalam merespon penerapan asas tunggal Pancasila, masyarakat Indonesia bisa kita bagi kepada dua kubu yaitu kubu yang menerima disatu pihak dan kubu yang menolak dipihak lain. Terjadinya bipolarisasi ditengah-tengah masyarakat bangsa Indonesia dalam memandang asas tunggal Pancasila tersebut bukan tanpa alasan. Dalam memandang perbedaan pendapat dikalangan masyarakat ini M. Rusli Karim mengemukakan :
Sehubungan dengan gagasan pemerintah tersebut (pen-gagasan penerapan asas tunggal Pancasila) telah muncul banyak pendapat yang pro dan kontra. Yang pro adalah memandang bahwa tindakan seperti itu sangat mendukung bagi upaya mengurangi pengkotak-kotakan didalm masyarakat yang akhirnya tidak mendukung kearah terwujudnya persatuan dan kesatuan. Situasi di tahun 1950-an selalu dijadikan alasan pembenar, karena saat itu bangsa kita terkotak-kotak dalam banyak wadah yang ditandai oleh pertentangan yang tak berkesudahan terutama antara kelompok nasionalis dengan kelompok Islam yang masing-masing berpegang teguh kepada pandangannya, sehingga tidak diperoleh consensus. Bagi golongan ini untuk melihat perbedaan antara masing-masing kekuatan politik terletak pada programnya. Bukan pada asas cirri seperti selama ini. Dan dengan itu dimaksudkan ideologi tidak lagi menjadi sumber konflik karena ketidakmampuan mengadaptasi konflik menjadi consensus.
Sedangkan bagi yang kontra memandang bahwa penyeragaman itu berarti mengingkari keberagaman/ kebhinekaan yang ada didalam masyarakat. Dalam hal ini PPP yang tampak lebih terpukul dengan gagasan baru itu tidak terlalu banyak mengeluarkan statemen politik-kecuali NU yang dengan tegas mendukung gagasan tersebut- seperti diutarakan Rois ‘Aam Jam’iyah NU bahwa “penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal dalam kehidupan berpolitik merupakan suatu keharusan. Hal ini untuk menjaga agar asas lain yang dianut organisasi sosial-keagamaan, tidak dihadapkan sebagai alternative bagi Pancasila sebagai ideologi Negara”.

Deliar Noer dalam tulisannya di Kompas edisi 25 Oktober 1982 sebagaimana dikutip oleh Rusli Karim menanggapi isu penyeragaman asas partai tersebut sebagai berikut :
1. Asas tunggal partai (yaitu Pancasila untuk semua tanpa menyertakan asas khasnya semula) menafikan kebhinekaan masyarakat yang memang berkembang menurut keyakinannya masing-masing. Keyakinan ini bisa bersumber pada ajaran agama, bisa pada pemahaman lain.
2. Asas tunggal partai menghalangi orang-orang yang sama keyakinan untuk mengelompok sesamanya serta bertukar pikiran sesamanya berdasar keyakinan, termasuk agama yang dianut masing-masing. Dalam rangka ini asas tunggal mengandung unsur paksaan dan bukan keleluasaan yang merupakan ciri dari demokrasi.
3. Asas tunggal partai menafikan hubungan antara agama dan politik, yang bagi agama tertentu, apalagi Islam, berarti bertentangan dengan ajarannya. Ini berarti dorongan untuk sekularisasi dalam politik.
4. Asas tunggal partai menggeser permasalahan yang perlu pada program tanpa menyertakan dasar hukum dan penilaian yang khas dan jelas secara terbuka. Ini mengundang ketertutupan dalam argumentasi, ataupun kemunafikan dalam bersikap.
5. Asasa tunggal partai mengandung kecendrungan kearah sistem partai tunggal. Kalaupun sistem satu partai ini tak terwujud, maka arti system kepartaian yang mengakui eksistensi lebih dari satu partai bisa dikatakan hapus; sekurang-kurangnya mempunyai arti yang formal saja. Akibatnya terjelma sistem satu partai terselubung.
6. Asas tunggal partai menghalangi kemungkinan pengembangan faham-faham, seperti bersumber pada agama yang mungkin memperkuat Pancasila di negeri kita. Akibatnya masyarakat akan dirugikan oleh kurang atau tiadanya alternative pemikiran untuk pembinaan dan pembangunan Negara.
Sementara itu cendikiawan Muslim lain yang menolak asas tunggal Pancasila seperti Jenderal (Purnawirawan) H. Abdul Haris Nasution sebagaimana dikutip oleh Z.S Nainggolan, mengatakan bahwa RUU Parpol dan Golkar serta keormasyan tersebut bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. sebab menurut beliau dalam Pancasila dan UUD 1945 sebetulnya telah terkandung keselarasan antara keragaman dengan persatuan, terkandung bhineka tunggal ika serta kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengatakan pendapat sesuai dengan aspirasi masing-masing. Lebih lanjut Abdul Haris mengemukakan bahwa sesuai dengan pidato Bung Karno, penggali Pancasila bahwa Pancasila adalah dasar Negara bukan asas suatu partai.
Penolakan terhadap asas tunggal juga disampaikan oleh A.M Fatwa, dalam tulisannya Taqwa dan Asas Islam Hingga Titik Darah Terakhir sebagaimana dikutip oleh Z.S Nainggolan, mengemukakan sebagai berikut :
Pancasila sebagai satu-satunya cukup dalam menembus perasaan, karena ummat Islam telah demikian banyak berkorban dalam turut menciptakan rumus dasar Pancasila yang akhirnya tercapai consensus nasional untuk sama-sama menerima Pancasila sebagai asas persatuan untuk kemerdekaan.

Selanjutnya A.M Fatwa mengatakan bahwa Organisasi Islam itu adalah organisasi yang mencantumkan sebagai asas perjuangan dan keanggotaannyapun harus memeluk agama Islam. Fatwa menambahkan bahwa asas organisasi bukan hanya memiliki dimensi administrative duniawi dalam segala aktivitasnya melainkan juga harus mencerminkan dimensi spiritual ukhrowi, berkaitan dengan surga, neraka dan pahala. Untuk itu Pancasila tidak mungkin dapat dipakai untuk menampung atau menjadi asasnya.
Cendikiawan Muslim lainnya seperti Abdul Qodir Jaelani memandang RUU tersebut sebagai RUU yang mungkar, karena Islam adalah satu-satunya agama dan sistem hidup yang sempurna. Karena itu menurut Fatwa, tidak wajar jika Pancasila, produk pemikiran manusia dijadikan satu-satunya ideologi bangsa Indonesia menggantikan ideologi Islam dan ideologi lainnya.
Selain tokoh-tokoh cendikiawan Muslim yang menolak asas tunggal tersebut, ada juga ormas Islam yang menolak yaitu Pelajar Islam Indonesia (PII) hingga kemudian karena terus menolak PII pun dibekukan dan dilarang oleh pemerintahan orde baru. Adapun Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) karena terjadi perbedaan pandangan di dalamnya dalam penerimaan asas tunggal ini menyebabkan organisasi ini terpecah menjadi dua kubu yaitu kubu yang menolak dan yang menerima, kubu yang menolak kemudian menamakan dirinya dengan “HMI MPO” (Majelis Penyelamat Organisasi) dan kubu yang menerima lebih dikenal dengan nama HMI Dipo (Diponegoro). Sampai saat ini kedua kubu HMI ini masih ada.
Sikap penolakan terhadap asas tunggal ini pada akhirnya bermuara kepada tumbuhnya kelompok “oposisi kecil” dalam pemerintahan orde baru, dan dalam menghadapi kelompok “oposisi kecil” ini bisa dikatakan pemerintah meredamnya dengan tindakan-tindakan yang refresif seperti penculikan, pemenjaraan dan bahkan dengan kekerasan. Aktivis-aktivis muslim yang menolak asas tunggal tersebut juga banyak yang ditangkap diantaranya adalah Abdul Qodir Djaelani, A.M. Fatwa, dan aktivis mahasiswa Tonny Ardie. Abdul Qodir Djaelani dan A.M Fatwa dipenjara dengan tuduhan menyulut insiden berdarah di Tanjung Priuk tanggal 12 September 1984.
Kalau diperhatikan alasan-alasan terhadap penolakan asas tunggal pancasila tersebut semuanya bermuara kepada satu argumentasi bahwa adanya kekhawatiran terhadap pensakralan Pancasila seperti halnya pensakralan terhadap agama yang menurut mereka berpotensi terhadap kesyirikan. Hal ini jugalah yang dikhawatirkan oleh Tonny Ardie sebagaimana yang diungkapkannya dalam pleidoinya didepan majelis hakim ketika dituntut dalam kasus penolakan asas tunggal ini.
Lalu bagaimana sikap kelompok-kelompok Islam lainnya dalam merespon gagasan asas tunggal pancasila ini? Kecuali NU sikap ormasy Islam lainnya tampaknya “menunggu” dalam artian menunggu disyahkannya undang-undang tersebut.
Sementara NU, dua tahun sebelum diundangkannya RUU keormasyan tersebut melalui Munas Alim Ulama tahun 1983 di Pondok Pesanteren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo telah mengambil keputusan menerima pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dari pemaparan tentang respon umat Islam terhadap isu penerapan asas tungal Pancasila sebagaimana disebutkan di atas, dapat kita ketahui bahwa sesunguhnya respons umat Islam terbagi kepada tiga sikap, yaitu;
1. kelompok yang menerima; yaitu kelompok organsasi Nahdlatul Ulama (NU);
2. kelompok yang menolak; yaitu Pelajar Islam Indonesia (PPI), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), yang kemudian kelompok ini menjelma menjadi HMI MPO (Majelis Penyelamat Organisasi), dan beberapa tokoh Islam yang tergabung dalam Petisi 50;
3. kelompok yang tidak menunjukkan sikap, tapi pada akhirnya menerima setelah diundangkan RUU asas tunggal tersebut. Kelompok ini terdiri dari ormas-ormas Islam selain NU, yaitu Muhammadiyah, Al-Irsyad, Perti, dll.

**********




BAB IV
PENERIMAAN NAHDLATUL ULAMA
TERHADAP ASAS TUNGGAL PANCASILA


“Dalam pandangan fiqih, asas Pancasila adalah salah satu dari sekian banyak persyaratan bagi keabsahan negara Republik Indonesia, hal itupun bukannya persyaratan keagamaan sama sekali. Dengan sendirinya tidak ada alasan untuk menolaknya, selama ia tidak berfungsi menggantikan kedudukan agama dalam kehidupan organisasi yang bersangkutan. Islam sendiri dapat saja diletakkan dalam kedudukan yang berbeda-beda dalam kehidupan organisasi… pada suatu saat ia dijadikan asas, dan diwaktu lain dijadikan landasan keimanan (aqidah), karena masalahnya “hanyalah sekedar pencapaian legitimasi” dalam pandangan fiqih … Fiqih menentukan asas organisasi hanya sebagai salah satu persyaratan hidupnya, sedangkan “landasan keagamaan’ dapat saja dirumuskan di bagian lain dari anggaran dasarnya…” (Abdurrahman Wahid)




Proses Penerimaan NU Terhadap Pancasila Sebagai Asas Tunggal

Sebagaimana disebutkan pada bab sebelumnya bahwa gagasan pemerintah orde baru untuk menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ditanggapi secara kontroversial oleh sebahagian rakyat Indonesia, yakni ditandai dengan timbulnya bipolarisasi ditengah-tengah rakyat antara yang menerima disatu pihak dan yang menolak dipihak lain. Kondisi seperti itu sesungguhnya terjadi juga di internal NU sendiri. Hal ini terlihat jelas saat dilaksanakan pembahasan tentang Pancasila pada Munas Alim Ulama NU tahun 1983 di Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo.
Ketika Ahmad Siddiq (Anggota mustasyar PB Syuriah NU) memaparkan makalahnya tentang asas tunggal Pancasila dalam komisi khittah. Reaksi yang muncul cukup keras, tidak kurang dari 34 orang yang menanggapi makalah itu, hanya 2 orang yang setuju, 32 lainnya menentang. Bahkan salah seorang peserta menolak inti makalah dan menuduh sikap menerima Pancasila sebagai tindakan murtad. Selain itu beredar juga tuntutan yang ditandatangani 37 Kyai dari 36 pesantren di Madura supaya NU jangan menerima asas tunggal itu sebelum RUU nya diundangkan.
Para ulama senior yang merintis gagasan untuk menerima asas tunggal itu sepertinya tidak menduga akan begitu kerasnya reaksi dari peserta Munas sehingga terjadilah adu argument yang cukup alot dalam Munas tersebut. Menurut Ali Khaidar reaksi-reaksi yang menjurus kepada penolakan itu adalah disebabkan kekhawatiran terhadap hilangnya identitas Islam pada diri NU, sementara orientasi Islam bagi organisasi social keagamaan seperti NU menjadi jiwa dan denyut nafasnya. Tanpa Islam tidak lagi berarti bagi NU. Akhirnya setelah terjadi perdebatan yang cukup alot sampailah kedua belah pihak (yang menerima dan yang menolak) kepada suatu kompromi dengan mencantumkan suatu rumusan Anggaran Dasar yang yakni Pancasila sebagai asas organisasi dan Islam sebagai akidah. Tepatnya dalam Pasal 2 Anggaran Dasar berbunyi sebagai berikut : “NU berasas Pancasila”, sedangkan di pasal 3 berbunyi : “NU sebagai jam’iyah Diniyah Islamiyah beraqidah menurut paham Ahlussunnah wal jama’ah …”.
Selain pencantuman Pancasila sebagai asas organisasi, pada Munas itu juga diadakan deklarasi hubungan Pancasila dengan Islam. Adapun isi Deklarasi Hubungan Pancasila dengan Islam itu adalah sebagai berikut:

Bismillahirrahmanirrahim

1. Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama.
2. Sila "Ketuhanan Yang Maha Esa" sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 Undang Undang Dasar (UUD) 1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.
3. Bagi Nahdlatul Ulama (NU) Islam adalah akidah dan syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antara manusia.
4. Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya.
5. Sebagai kondisi dari sikap di atas, NU berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekwen oleh semua pihak.

Musyawarah Nasional Alim Ulama
Situbondo,16 Rabiul Awwal 1404 H
21 Desember 1983 M
Begitulah pada akhirnya seluruh peserta Munas menerima dijadikannya Pancasila sebagai asas organisasi Nahdlatul Ulama. Penerimaan NU terhadap asas Pancasila ini menjadikan NU sebagai organisasi kemasyarakatan Islam pertama yang menerima asas tunggal Pancasila.

Alasan-Alasan NU Menerima Asas Tunggal Pancasila
Dalam melihat alasan penerimaan NU terhadap asas tunggal Pancasila, sedikitnya bisa ditinjau dari 4 faktor, yaitu: faktor sejarah, faktor setting politik orde baru, faktor fiqh (faham keagamaan NU) dan faktor dari isi materi Pancasila itu sendiri.
1. Tinjauan Sejarah Sosial Politik
Kalau kita perhatikan sejarah perjalanan Nahdlatul Ulama, kita bisa melihat betapa NU sangat condong kepada persatuan dan kesatuan. Seperti yang sudah penulis paparkan diatas, NU sejak berdirinya sudah aktiv mempelopori persatuan ummat Islam baik itu melalui wadah MIAI, Masyumi, maupun, Liga Muslimin Indonesia bahkan ketika pemerintah menerapkan penyederhanaan partai politik NU dengan sukarela memfusikan dirinya ke Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Dalam konteks kenegaraan, kita bisa melihat betapa demi persatuan dan kesatuan bangsa yang sedang terancam integritasnya sehari setelah proklamasi kemerdekaan akibat penolakan masyarakat Indonesia bagian Timur terhadap redaksi Piagam Jakarta: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” , Wahid Hasyim yang merupakan tokoh NU di PPKI merelakan penghapusan tujuh kata dalam piagam tersebut, dan sebagai gantinya dibuatlah “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kerelaan hati Wahid Hasyim dan tokoh-tokoh Islam lainnya menunjukkan betapa tokoh-tokoh NU sangat cinta terhadap persatuan dan kesatuan bangsa. Kendati didalam siding-sidang BPUPKI Wahid Hasyim sangat getol memperjuangkan supaya Islam dijadikan sebagai dasar bernegara akan tetapi saat itu Wahid Hasyim juga tidak mengesampingkan betapa pentingnya persatuan dan kesatuan bangsa. Dalam tulisannya Wahid Hasyim sebagaimana dikutip oleh M. Ali Haidar dari Benda mencatat sebagai berikut:
Sejarah masa lampau kami (dia kemukakan) telah menunjukkan bahwa kami belum mencapai kesatuan. Demi kepentingan kesatuan ini, yang sangat kami perlukan secara mendesak dan dalam usaha untuk membangun Negara Indonesia kita, di dalam pikiran kami pertanyaan yang terpenting bukanlah: ‘dimanakah akhirnya tempat Islam (di dalam Negara itu)?’ akan tetapi pertanyaan yang terpenting ialah, ‘Dengan jalan manakah akan kami jamin tempat agama (kami) di dalam Indonesia merdeka?’ Karena itu sekali lagi saya ulangi: Yang sangat kita perlukan saat ini adalah persatuan bangsa yang tidak terpecahkan.

Contoh lain kontribusi NU terhadap nasionalisme dan kebangsaan dapat dilihat ketika menjelang proklamasi kemerdekaan. Ketika itu politik aliran sangat kental mempengaruhi pandangan tokoh-tokoh bangsa, sehingga untuk menentukan kepala Negara (presiden) saat itu bukanlah pekerjaan yang mudah. Akan tetapi para ulama NU pada waktu itu yang dimotori oleh K.H. Hasyim Asy’ari, sepakat mendukung Soekarno yang nasionalis dan lebih dikenal sebagai warga Muhammadiyah untuk menjadi presiden Indonesia yang pertama. Dukungan bulat NU buat Soekarno menunjukkan betapa tingginya sikap kenegarawanan para pemimpin NU untuk kepentingan Nasional.
Kesetiaan NU terhadap Proklamasi 17 Agustus dan kedaulatan NKRI juga bisa kita baca melalui seruan K.H. Hasyim Asy’ari (seruan ini kemudian lebih dikenal dengan Resolusi Jihad) ketika menghadapi tentara Belanda yang mencoba kembali masuk ke Indonesia pada 22 Oktober 1945, Resolusi Jihad tersebut sebagaimana dikutip oleh Lathiful Khuluq adalah sebagai berikut:
Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus wajib dipertahankan.
1. Republik Indonesia, sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah, harus dijaga dan ditolong.
2. Musuh Republik Indonesia yaitu belanda yang kembali ke Indonesia dengan bantuan sekutu (Inggris) pasti akan menggunakan cara-cara politik dan militer untuk menjajah kembali Indonesia,
3. Umat Islam terutama anggota NU harus mengangkat senjata melawan Belanda dan Sekutunya yang ingin menjajah Indonesia kembali.
4. Kewajiban ini merupakan perang suci (jihad) dan merupakan kewajiban bagi setiap Muslim yang tinggal dalam Radius 94 kilometer, sedangkan mereka yang tinggal di luar radius tersebut harus membantu secara material terhadap mereka yang berjuang.
Sejarah mencatat berkat Resolusi Jihad yang dikumandangkan K.H. Hasyim Asy’ari ini semangat juang pemuda-pemuda Indonesia bangkit, di Surabaya terjadi peperangan yang sangat dahsyat melawan Belanda pada 10 November 1945 dan tanggal ini kemudian ditetapkan sebagi hari Pahlawan. Keluarnya Resolusi Jihad ini menurut Misrah mengindikasikan konsistensi NU terhadap keputusan politik terdahulu, yakni tentang keberadaan Negara Indonesia sebagai Negara yang sah yang wajib dibela. NU berpindirian bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila adalah bentuk final bagi bangsa Indonesia dan secara tegas menolak dan menentang segala upaya untuk memecah belah persatuan dan persaudaraan kebangsaan Indonesia.
Komitmen nyata dan tegas NU terhadap NKRI lebih nampak ketika NU menolak Darul Islam (DI) yang didirikan Kartosuwiryo di Jawa Barat atau Negara Islam Indonesia (NII) di Sulawesi Selatan oleh Kahar Muzakkar, atau yang lain-lain seperti Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) di Sulawesi, Republik Maluku Selatan (RMS) dan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Barat. Menurut NU apapun dasar ideologisnya semua aksi bersenjata tersebut merupakan pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah (bughot). Sikap tegas juga diperlihatkan NU ketika secara langsung turun tangan dalam menumpas pemberontakan PKI yang ingin mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi Komunis pada tahun 1965.
Semua fakta-fakta sejarah seperti yang dikemukakan di atas, menurut penulis adalah indikasi nyata bahwa sejak awal NU memang komit untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila. Mengenai ketika di BPUPKI dan dalam sidang-sidang konstituante NU menolak Pancasila dan UUD 1945 dan ingin melegal formalkan negara Islam di Indonesia hal itu barangkali disebabkan karena pada masa itu sangat banyak penafsiran yang simpang-siur tentang Pancasila, khususnya dari kelompok Nasionalis Sekuler. Tetapi semenjak Dekrit Presiden 1959 NU dengan suka rela menerima Pancasila hal ini karena. Dalam dekrit tersebut dinyatakan bahwa ”Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut”.
Dalam TAP MPRS Nomor XX/1966 yang mengesahkan memorandum DPRGR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia danTata Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia tanggal 9 Juni 1966 yang menjadi dasar berlakunya kembali UUD 1945 pada zaman orde baru disebutkan juga hal yang sama (UUD 1945 dijiwai oleh Piagam Jakarta serta ditegaskan pula bahwa Penyusunan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sesungguhnya dilandasi oleh jiwa Piagam Jakarta 22 Juni 1945.
Kembali kepada penafsiran Pancasila, yang oleh penulis tadi disebutkan bahwa pada zaman orde lama penafsirannya simpang siur sehingga menyebabkan kalangan nasionalis Islam menjadi curiga, pada zaman orde baru penafsiran Pancasila mulai diperjelas.
Dengan demikian logislah jika kemudian NU menerima asas Pancasila dan dalam Deklarasinya pada Munas Alim Ulama 1983 menyatakan bahwa dasar Ketuhanan Yang Maha Esa itu mencerminkan Tauhid dalam islam.
Dalam meninjau penerimaan NU terhadap asas Pancasila agaknya relevan kalau dalam tulisan ini dicantumkan tulisan Abdurrahman Wahid dalam harian Kompas edisi 26 September 1985 dengan judul “Hubungan Agama dan Pancasila Harus berwatak Dinamis” sebagaimana dikutip oleh: M. Syafi’i Anwar:
Dalam acuan paling dasar, Pancasila berfungsi mengatur hidup kita sebagai kolektifitas yang disebut bangsa, sedangkan agama memberikan kepada kolektivitas tersebut tujuan kemasyarakatan (social purpose)… agama justru menyatukan kedua unsur mutlak kehidupan itu dalam sebuah kerangka etis yang paripurna… jelaslah dengan demikian antara agama dan Pancasila terdapat hubungan yang simbiotik, yang satu tak dapat hidup di Indonesia tanpa yang lain. Hubungan simbiotik itulah yang memunculkan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, bukannya sekadar hanya ideologi formal negara belaka.

Menurut Syafi’i Anwar analisis Abdurrahman Wahid ini adalah, tinjauan dalam perspektif sosiologi politik, khususnya dari segi hubungan fungsional dan simbiotik diantara hubungan Islam dan Pancasila. Agama dan Pancasila menurut Abdurrahman Wahid tidak boleh diidentikkan secara menyeluruh, karena fungsi masing-masing saling berbeda. Pancasila berfungsi sebagai landasan hidup berbangsa dan bernegara. Dengan kata lain menjadi kerangka kemasyarakatan kita sebagai bangsa sedangkan Agama melandasi keimanan warga masyarakat dan menjadi unsur motivatif, yang memberi warna spritual kepada kegiatan mereka.
Selain itu, Abdurrahman Wahid juga melihat Pancasila sebagai “aturan permainan” yang menghubungkan semua agama dan paham dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam konteks ini menurut Abdurrahman Wahid dapat dirumuskan bahwa Pancasila memperlakukan semua agama sebagai sama di muka hukum dan dalam pergaulan masyarakat.





2. Tinjauan Seting Politik Orde Baru
Seperti disebutkan pada bab sebelumnya, pemerintah Orde Baru adalah pemerintahan yang sangat getol dalam menjaga stabilitas politik tanah air. Salah satu upaya pemerintah orde baru dalam menjaga stabilitas politik pemerintahannya adalah dengan cara mengkampanyekan dan mendorong penyeragaman asas bagi semua organisasi politik dan kemasyarakatan dengan cara menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas.
Sebagaimana diketahui bahwa pada awal-awal tahun 1980-an terjadi konflik yang cukup menegangkan dalam tubuh organisasi NU. Konflik itu berpuncak ketika Idham Chalid pada tanggal 14 Mei 1982 mencabut ikrar pengunduran dirinya sebagai Ketua Umum Tanfiziyah NU yang sebelumnya telah diikrarkannya secara resmi pada tanggal 06 Mei 1982 dihadapan sejumlah ulama senior NU dan Ra’is ‘Am Ali Ma’shum.
Pencabutan terhadap ikrar tersebutpun menui pro dan kontra. Pihak yang mendukung Idham Chalid menduga bahwa pengunduran diri Idham Chalid itu dilakukan dibawah tekanan, oleh karenanya ikrar pengunduran diri tersebut tidak sah, lagi pula menurut kelompok ini karena Idham Chalid terpilih melalui muktamar maka pengunduran diri dan pergantian ketua umum juga harus melalui muktamar. Sementara Ali Ma’shum dengan didukung oleh sejumlah Ulama senior NU menilai ikrar pengunduran diri itu sah dan tidak dapat dicabut kembali. Kelompok ini beralasan bahwa sesuatu hak yang sudah diberikan atau direlakan menurut hukum fikih tidak dapat ditarik kembali kecuali dengan kerelaan dari orang yang telah menerima hak itu.
Perpecahan antara dua kelompok ini semakin menyeruak kepermukaan. Dimana ketika kelompok Ali Ma’shum melaksanakan Munas Alim Ulama di Situbondo pada saat yang sama kelompok Idham Chalid dengan mengundang seluruh Pimpinan Wilayah NU se-Indonesia menyelenggarakan Rapat Pleno PBNU di Jakarta untuk mempersiapkan Muktamar NU 1984. Rapat Pleno PBNU pimpinan Idham Chalid ini pada akhirnya gagal karena Dinas Intel Mabes Polri memerintahkan supaya Rapat tersebut ditunda.
Sementara Munas Alim Ulama Situbondo yang dikoordinir oleh Ali Ma’shum kendati melalui perdebatan yang cukup alot namun pada akhirnya Munas tersebut memutuskan untuk menerima asas tunggal Pancasila.
Pertanyaannya sekarang adalah apakah penerimaan NU terhadap asas tunggal Pancasila ada dipengaruhi oleh seting politik Pemerintah Orde Baru?. Untuk menjawab pertanyaan ini penting dilihat proses yang terjadi menjelang dilaksanakannya Munas Situbondo.
Mengutip dari Tempo edisi 24 Desember 1983, Ali Haidar menulis sebagai berikut:
“Kelompok Alim Ulama NU sendiri sebenarnya sejak mula, setelah konflik pecah, mengisyaratkan menerima asas tunggal Pancasila. Pernyataan As’ad Sjamsul Arifin setelah menghadap Presiden Soeharto menjelang Munas Alim Ulama tahun 1983, memperjelas indikasi itu. Awal Agustus 1983, As’ad menemui Presiden untuk melaporkan rencana Munas Alim Ulama NU dan menegaskan ‘ummat Islam Indonesia wajib menerima Pancasila, dan haram hukumnya bila menolak”.

Menilik dari pernyataan As’ad sebagaimana tersebut di atas penulis menduga bahwa penerimaan NU terhadap asas tunggal Pancasila adalah dalam rangka meraih legitimasi penguasa Orde Baru terhadap kepemimpinan NU kubu Ali Maksum. Terbukti bahwa kemudian Munas Alim Ulama NU di Situbondo tersebut tidak diganggu oleh penguasa Orde Baru sementara Rapat Pleno PBNU kubu Idham Chalid diganggu oleh pemerintahan Orde Baru dengan cara meminta supaya Rapat Pleno tersebut ditunda kendati kemudian kubu ini juga mengeluarkan kebulatan tekad untuk menerima asas tunggal Pancasila.
Setelah menganalisis konflik yang terjadi diantara kedua kubu tersebut, penulis menduga bahwa penerimaan kedua kubu ini terhadap asas tunggal Pancasila bisa jadi turut dipengaruhi oleh kepentingan kedua kubu ini untuk mencari pengakuan pemerintah Orde Baru terhadap kepemimpinan mereka masing-masing. Seolah ada perlombaan diantara kedua kubu itu untuk mendapatkan legitimasi (pengakuan) pemerintah. Kalau analisis ini benar itu berarti kedua kubu ini telah terjebak dalam seting politik pemerintahan Orde Baru.

3. Tinjauan Paham Keagamaan (Fiqh)
Sebagai organisasi kemasyarakatan Islam penganut faham Ahlussunnah wal jama’ah, kiprah ulama NU tidak terlepas dari nilai-nilai dan norma-norma Islam yang secara baku dirumuskan dalam fiqh, termasuk untuk masalah-masalah politik dan kenegaraan. Contoh betapa besarnya pengaruh fiqh dalam kebijakan-kebijakan politik NU salah satunya adalah pada Mukatamar NU di Banjar Masin pada tahun 1935. mengenai hal ini Ishom Hadzik dan Halim Asnafi menjelaskan sebagai berikut:
Menjelang Muktamar NU di Banjarmasin, muncul persoalan. Yaitu, bagaimana sesungguhnya status kenegaraan Indonesia pasca kemerdekaan. Sebab, dengan mengambil Pulau Jawa sebagai basis Indonesia, kekuasaan pemerintah yang dianggap sah menurut syariat Islam dimulai dari Kerajaan Demak, lalu Pajang, dan Mataram Islam, sehingga ketika itu Indonesia layak menyandang status Darul Islam. Sementara itu, sejak kedatangan penjajah Belanda, lalu Inggris dan disusul Jepang, kekuasaan pemerintah penjajah yang kafir itu tak diakui dan otomatis status Darul Islam lenyap selama ratusan tahun. Mungkinkah status Darul Islam itu pulih kembali pasca kemerdekaan. Ternyata berdasarkan fatwa Mufti Hadlramaut Syekh Muhammad Sholih Ar-Rois dalam suratnya yang dikirim kepada para kiai NU di Jawa, status Darul Islam tetap melekat pada negara Indonesia dengan merujuk pada kaidah fiqh: الاصل بقاء ماكان على ماكان yang berarti selama tak ada perubahan mendasar maka status yang berlaku sebelumnya tetap
dipertahankan.

Maka demikianlah dengan berpedoman kepada tradisi pemikiran kaedah fiqh ulama-ulama NU pun memutuskan untuk menetapkan Negara Indonesia sebagai dar al- Islam yang wajib dibela dan dipertahankan. Penggunaan prinsip-prinsip (kaedah) fiqh dan ushul fiqh pada masa-masa selanjutnya banyak mewarnai tindak-tanduk pergerakan NU dalam dunia politik dan kenegaraan Indonesia.
Penerimaan NU terhadap asas tunggal Pancasila juga sesungguhnya tidak terlepas dari pertimbangan faham keagamaan (fiqh). Dalam Mukatamar ke 27 di Situbondo NU betul-betul memahami kembali dasar-dasar keagamaannya dan dari dasar-dasar keagamaan itulah NU merumuskan sikapnya terhadap situasi sosial politik yang sedang terjadi. Keputusan Muktamar NU ke-27 No. 02/MNU-27/1984 poin 3 tentang Dasar-dasar faham keagamaan NU dictum c disebutkan sebagai berikut:
Nahdlatul Ulama mengikuti pendirian, bahwa Islam adalah agama yang fithri, yang bersifat menyempurnakan segala kebaikan yang sudah dimiliki oleh manusia. Faham keagamaan yang dianut oleh Nahdlataul Ulama bersifat menyempurnakan nilai-nilai yang baik yang sudah ada dan menjadi milik serta cirri-ciri suatu kelompok manusia seperti suku maupun bangsa, dan tidak bertujuan menghapus nilai-nilai tersebut.

Kalau kita perhatikan kutipan keputusan Muktamar sebagaimana tersebut di atas, agaknya keputusan itu selaras atau mungkin saja didasarkan kepada kaedah yang popular dikalangan kaum sunny yaitu:
المحافظة على القدم الصالح والأخذ بالجديد الأصلح
Artinya: Memelihara nilai lama yang baik dan mengambil nilai baru yang lebih baik.

Pancasila sendiri sesungguhnya mengandung nilai-nilai dan ajaran kebaikan (maslahah) serta ajarannya sudah berkembang di tengah-tengah masyarakat bahkan Pancasila itu sendiri digali dari nilai-nilai dan falsafah hidup yang berkembang di tengah-tengah masyarakat bangsa Indonesia, maka Pancasila yang baik itu sudah selayaknya untuk dipelihara dan ditegakkan bukan untuk dihapuskan.
Prinsip (kaedah) seperti diatas itu pulalah menurut pengamatan penulis yang menjadikan NU menjadi lebih akomodatif dan toleran terhadap nilai-nilai yang ada dan berkembang di tengah-tengah masyarakat dan sikap seperti ini pulalah salah satunya yang membedakan NU dengan kaum pembaharu. Jadi seperti disampaikan oleh Einar M. Sitompul, NU tidak bersikap antitesis terhadap suatu nilai masyarakat. Sepanjang nilai atau suatu system di dalam masyarakat tidak bertentangan dengan keyakinan Islam, maka ia mempunyai potensi untuk diarahkan atau dikembangkan agar selaras dengan tujuan-tujuan di dalam Islam. Einar menambahkan bahwa dalam pengertian seperti itulah NU bersikap “menyempurnakan segala kebaikan yang sudah dimiliki oleh manusia”. Sikap seperti ini menurut Einar berbeda dengan sikap kaum pembaharu yang oleh Einar dinilai lebih lebih cenderung membawa Islam kedalam sikap antitesis terhadap negara. Perbedaan sikap dan interpretasi NU terhadap ajaran agama dengan kelompok pembaharu ini menurut penulis adalah disebabkan nalar keagamaan NU yang mengikuti tradisi pemikiran mazhab yang menjadi pilar tegaknya peradaban fikih. Dalam menggali ajaran Islam NU mendekatinya melalui pemikiran ulama mazhab, sehingga pemikiran NU terhindar dari pendekatan tekstual dan iterpretasi tunggal terhadap Al-Qur’an dan Hadist. NU dengan pendekatan fikih dan kekayaan tradisi yang dimilikinya bersikap lebih terbuka terhadap nilai-nilai yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Melalui tradisi pemikiran seperti itu jugalah NU mengantisipasi dan menjawab gejala-gejala sosial politik sehingga NU dalam melihat perkembangan sosial politik tidak dalam sikap yang mutlak-mutlakan seperti yang sering ditampilkan oleh golongan pembaharu.
Penerimaan NU terhadap asas tunggal Pancasila sendiri secara tidak langsung ada dipengaruhi oleh tradisi pemikiran fikih seperti yang disebutkan di atas. Salah satu prinsip yang sering digunakan NU ialah qaidah ushul fiqh:
مالايدرك كله لايترك كله
Artinya: Apa yang tidak dapat dicapai seluruhnya jangan ditinggalkan seluruhnya.

Dalam kaitan dengan qaidah ini penerimaan terhadap Pancasila dan UUD 1945 menurut M. Ali Haidar adalah merupakan antisipasi NU untuk mempertahankan ‘sebahagian’ yang telah dicapai sebab untuk memperoleh ‘semua’ sebagai dasar negara tidak atau belum memungkinkan dan barangkali juga tetap akan menghadapi kesulitan yang tidak kecil atau malah justru jadi bumerang bagi NU sendiri dan umat Islam. Ali Haidar memberi bandingan sebagai berikut:
Kewajiban yang tidak mungkin diwujudkan secara utuh tidak boleh ditinggalkan semuanya (bagian-bagian terpenting yang telah berhasil diwujudkan). Kenyataan bahwa negara Indonesia sudah terbentuk dan kekuasaan pemerintahan berfungsi melindungi esensi terpenting dari kehidupan kenegaraan harus diterima. Sudah tentu semula wujud formal negara yang memenuhi kualifikasi menurut syari’at Islam yang diperjuangkan karena ini merupakan perintah agama yang harus diikuti. Hal ini pun dilakukan oleh NU dalam sidang BPUPKI maupun Majelis Konstituante. Namun setelah upaya itu gagal dilaksanakan kenyataan negara dan kekuasaan pemerintahan yang telah berfungsi tidak boleh ditinggalkan sebab kenyataan itu merupakan bagian terpenting dari upaya umat Islam untuk mewujudkan negara merdeka yang berdaulat. Sudah tentu ini tidak berarti tanpa melakukan perbaikan dan penyempurnaan terus menerus.

Komentar Ali Haidar ini kalau kita perhatikan memang ada benarnya. Sebab pasca penerimaan NU terhadap asas tunggal Pancasila, pada tahun 1985 Abdurrahman Wahid sebagaiman dikutip oleh Bahtiar Efendi menulis sebagai berikut;
Kini [setelah menerima Pancasila sebagai ideologi nasional kita], harus ada langkah lanjut, apa yang harus diperbuat NU dengan negara ini? Dan bahwa [negara] harus dilengkapi dengan visi-visi Islam. Ini hak kita, sebagaimana orang lain juga punya hak yang sama untuk mengisi [negara] dengan visi-visi mereka.

Pada masa orde baru dengan memperalat Pancasila jugalah NU memposisikan diri sebagai elemen utama masayarakat madani yang sering melaksanakan keritik konstruktif terhadap pemerintahan orde baru.
Dalil kedua yang sering digunakan oleh orang-orang NU adalah qaidah fiqh:
دراء المفاسد اولى من جلب المصالح
Artinya: menolak (menghindari) bahaya lebih didahulukan daripada mencapai kebaikan.
Masudnya adalah dalam menghadapi masalah yang berat yang akan menimbulkan bahaya, maka diutamakan menghindari bahaya itu dan melaksanakan kewajiban sesuai dengan kemampuan. Alasannya sebagaimana dikutip oleh Ali Haidar adalah karena Syari’at Islam lebih menekankan larangan agar tidak terjadi bahaya atau keburukan daripada perintah melaksanakan kebaikan atau maslahah. Selanjutnya Ali Haidar menuliskan:
Dalam sejarah politik di Indonesia upaya untuk mewujudkan bentuk final negara Islam selalu menghadapi tantangan yang mengancam sendi-sendi utama keutuhan nasional dan bahkan mungkin perpecahan yang lebih keras diantara kaum muslimin sendiri. Kenyataan ini menjadi dasar pertimbangan NU yang memilih upaya konsensus-konsensus yang bisa diterima semua pihak untuk menghindari kemungkinan tersebut. Dengan dasar pertimbangan menurut kaidah tersebut mudah dipahami mengapa NU menerima Dekrit Presiden 1959, Kabinet Gotong Royong 1960, dan asas tunggal Pancasila serta UU kepartaian yang mereduksi peran politik praktisnya sendiri.

Dalil yang ketiga adalah qaidah fiqh untuk memilih bahaya yang paling ringan akibatnya:
اذا تعارضت مفسدتان روعى اعظمها ضررا بارتكاب اخفهما
Artinya: ِApabila bertemu dua hal yang buruk dipertimbangkan yang lebih besar bahayanya dan dilaksanakan yang paling kecil bahayanya
.
Menurut Ali Haidar ini berarti jika pilihan-pilihan untuk melaksanakan kewajiban (maslahah) sama-sama tidak sempurnanya, sama-sama akan menimbulkan akibat buruk, maka dipilih yang paling ringan akibatnya.
Pilihan-pilihan sikap NU dalam mengantisipasi gejala sosial politik ditempuh berdasarkan perhitungan kemungkinan akibat yang akan timbul, tidak mutlak-mutlakan. Dengan dasar pemikiran menurut kaidah ini mudah diduga mengapa NU menerima Pancasila dan UUD 1945 pada awal kemerdekaan maupun ketika Dekrit Presiden 1959 ataupun DPR GR yang dibentuk tanpa melalui pemilihan umum, karena NU mempertimbangkan resiko yang paling kecil. Meskipun perangkat-perangkat kenegaraan itu belum memenuhi kwalifikasi yang dikehendaki NU untuk mewujudkan cita-cita politik sebuah negara secara utuh berdasar Islam, tetapi betapapun perangkat kenegaraan itu mutlak diperlukan bagi terwujudnya kekuasaan pemerintahan dan kenegaraan yang efektif untuk menjamin kelangsungan hidup bernegara.
Dalil yang keempat ialah qaidah ushul fiqh :
مالا يتم الواجب الا به فهو الواجب
Artinya: Bila suatu kewajiban tidak bisa dicapai dengan sempurna kecuali dengan syarat tertentu maka syarat itu pun wajib.

Dalam menjelaskan maksud qaidah ini Ali Haidar dengan memakai logika Imam Al-Ghazali menjelaskan sebagai berikut:
Membangun negara adalah wajib sebagai syarat untuk membangun ketertiban sosial. Merumuskan dasar negara dan UUD juga wajib karena hal itu sebagai syarat untuk mewujudkan tertib kenegaraan. Jika untuk itu tidak dapat dirumuskan suatu dasar negara dan UUD yang memenuhi kaidah yang sempurna tidak berarti kewajiban itu gugur. Apa yang telah dicapai meski tidak sempurna itu tetap wajib dijalankan disertai dengan kewajiban untuk terus-menerus menyempurnakannya.

Menurut Ali Haidar, keempat kaidah ini meski tidak dinyatakan secara eksplisit oleh NU ketika menerima dasar negara Pancasila dan UUD 1945, baik ketika awal kemerdekaan maupun ketika dekrit 5 Juli 1959 dan terakhir di Situbondo, memperlihatkan alur pemikiran politik dan sosial NU yang runtut dengan nilai tertentu. Dengan kerangka pemikiran semacam itulah menurut dugaan Ali Haidar yang menyebabkan NU lebih cepat bisa menerima asas tunggal Pancasila dibandingkan dengan organisasi lainnya. Ajakan pemerintah agar organisasi kemasyarakatan menetapkan Pancasila sebagai asas tunggal sebelum RUU keormasan disahkan DPR dilihat oleh NU sebagai ajakan yang memenuhi asas maslahah.
Alasan demi kemaslahatan nasional dan menyelamatkan bangsa dengan Pendekatan Fikih dalam penerimaan NU terhadap pancasila pada Munas Alim Ulama 1983 dibenarkan oleh Abdurrahman Wahid (Gusdur) yang saat itu terlibat aktif dalam Panitia Munas tersebut. Dalam hal ini Abdurrahman Wahid sebagaimana dikutip Tholhah Hasan mengatakan :
“Dalam pandangan fiqih, asas Pancasila adalah salah satu dari sekian banyak persyaratan bagi keabsahan negara Republik Indonesia, hal itupun bukannya persyaratan keagamaan sama sekali. Dengan sendirinya tidak ada alasan untuk menolaknya, selama ia tidak berfungsi menggantikan kedudukan agama dalam kehidupan organisasi yang bersangkutan. Islam sendiri dapat saja diletakkan dalam kedudukan yang berbeda-beda dalam kehidupan organisasi… pada suatu saat ia dijadikan asas, dan diwaktu lain dijadikan landasan keimanan (aqidah), karena masalahnya “hanyalah sekedar pencapaian legitimasi” dalam pandangan fiqih … Fiqih menentukan asas organisasi hanya sebagai salah satu persyaratan hidupnya, sedangkan “landasan keagamaan’ dapat saja dirumuskan di bagian lain dari anggaran dasarnya…”.

Selain itu Abdurrahman wahid juga pernah menulis mengenai penerimaan NU terhadap pancasila. Dalam tulisannya tersebut ia juga menjelaskan penerimaan NU dari sudut fikih kaum Ahlussunnah wal-jama’ah. Abdurrahman wahid mengatakan bahwa bagi NU, Pancasila sebagai ideologi bangsa memiliki posisi yang netral. Menurut Abdurrahman Wahid pandangannya ini sejalan dengan visi Imam Syafi’i tentang tiga jenis negara, yakni dar Islam (negara islam), dar harb (negara perang), dan dar sulh (negara damai). Pemerintahan yang berideologi Pancasila, termasuk dalam “negara damai” yang harus dipertahankan, karena syari’ah-dalam bentuk hukum/fiqh atau etika masyarakat-masih dilaksanakan oleh kaum muslimin di dalamnya, sekalipun hal itu tidak diikuti dengan upaya legislasi dalam bentuk undang-undang negara. “bila etik masyarakat Islam sudah dijalankan, tak ada alasan lain bagi umat Islam selain mempertahankannya sebagai kewajiban agama.
Jadi jelaslah bagi kita bahwa NU dalam kehidupan politiknya tidaklah asal-asalan dalam bersikap dan bertindak. Ada alur fikir sistematis dengan pendekatan tradisi pemikiran fikih warisan ulama yang menjadi landasan geraknya. Jadi menurut penulis amat tidak tepat tuduhan sebahagian kalangan yang menyatakan NU itu “oportunistik” dan “pragmatis” dalam berpolitik.

4. Tinjauan dari Materi Pancasila Itu Sendiri.
Alasan NU menerima Pancasila jika ditinjau dari isi/materi Pancasila itu sendiri bisa dilihat dari isi Deklarasi Hubungan Pancasila dengan Islam yang diputuskan oleh Munas Alim Ulama di Situbondo tertanggal 16 Rabi’ul Awwal 1404 H./21 Desember 1983 M.
Dalam point 1 (satu) isi deklarasi tersebut disebutkan ”bahwa Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama”. Ini berarti bahwa penerimaan NU terhadap Pancasila karena dianggap bahwa menerima Pancasila bukanlah berarti mengesampingkan agama. Dari sisi dapat terbantahkan adanya kekhawatiran sebahagian pihak yang menganggap bahwa dengan menerima Pancasila sebagai asas tunggal akan menyebabkan peran agama dalam kehidupan bernegara akan berkurang atau ideplogi Pancasila tersebut akan mengeliminir posisi dan fungsi agama dalam kehidupan bernegara.
Seterusnya dalam point 2 (dua) disebutkan ”bahwa Sila ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 Undang Undang Dasar (UUD) 1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam”. Ini berarti bahwa sesungguhnya tidak ada pertentangana antara Pancasila dengan Islam Justru Pancasila itu sendiri akan lebih mengokohkan posisi agama dalam negara Pancasila.
Adapun dalam point 3 (tiga) disebutkan bahwa “Bagi Nahdlatul Ulama (NU) Islam adalah akidah dan syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antara manusia”. Point ini menegaskan bahwa Pancasila sesungguhnya tidak bisa dipersamakan dengan agama karena antara Pancasila dan agama adalah dua hal yang berbeda. Agama (baca: Islam) seperti disebutkan dalam point tersebut adalah akidah dan syari’ah yang meliputi hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan manusia sementara pancasila hanyalah sebagai dasar aturan dalam kehidupan bernegara. Jadi dari sini jelas bahwa dengan menerima Pancasila bukanlah berarti mengesampingkan agama.
Dalam point 4 (empat) disebutkan bahwa “Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya”. Ini berarti bahwa justru dalam negara Pancasila setiap umat beragama dijamin haknya untuk melaksanakan ajaran agamanya masing-masing, tanpa ada gangguan dari pihak-pihak lainnya.
Keempat point tersebut diatas menjadi alasan bagi NU untuk menerima pancasila dan bahkan untuk mengamalkan dan menjaganya, hal ini sebagaimana jelas disebutkan pada point kelima isi deklarasi tersebut yang berbunyi “Sebagai kondisi dari sikap di atas, NU berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekwen oleh semua pihak”.
Dari pemaparan tentang alasan-alasan NU menerima Pancasila sebagaiamana dijelaskan di atas. Jelaslah bahwa sesungguhnya penerimaan NU terhadap asas tunggal Pancasila bukanlah asal-asalan apalagi untuk pragmentasi politik sebagaimana yang dituduhkan oleh sebagian kalangan, akan tetapi ada alasan sosial politik dan keagamaan yang melandasi penerimaan asas tunggal tersebut.

Konsistensi NU terhadap Asas Tunggal Pancasila
Sejak menerima asas tunggal Pancasila pada tahun 1983 hingga era reformasi sekarang ini NU senantiasa konsisten terhadap penegakan ideologi Pancasila. Konsistensi terhadap Pancasila itu selalu disampaikan dan ditegaskan dalam berbagai kesempatan baik itu oleh pengurus NU maupun dalam berbagai acara-acara besar yang dilaksanakan oleh warga NU sendiri.
Pada tanggal 1 Maret 1992, NU menggelar Rapat Akbar di Parkir Timur Senayan Jakarta. Dalam acara yang dihadiri lebih dari empat ratus ribu warga NU tersebut dibacakan Ikrar Kesetiaan NU terhadap Pancasila dan UUD 1945.
Sikap untuk mempertahankan dan mengembangkan Pancasila kembali ditegaskan oleh NU melalui Maklumat NU pada Musyawarah Nasional Nahdlatul Ulama (Munas NU) Minggu, 30 Juli 2006 di Surabaya. Dalam maklumat yang ditetapkan oleh Ketua Umum PBNU K.H. Hasyim Muzadi dan Ra’is Aam PBNU K.H. A. Sahal Mahfudh tersebut diteguhkan kembali sikap NU untuk terus mempertahankan dan mengembangkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam Wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sesuai dengan isi maklumat tersebut, peneguhan itu dilakukan karena menurut NU Pancasila, UUD 1945 dan NKRI adalah upaya final umat Islam dan seluruh bangsa Indonesia.
K.H. Hasyim Muzadi sendiri sebagai Ketua Umum PBNU dalam berbagai kesempatan sering mendesak pemerintah supaya mewaspadai gerakan politik transnasional yang dinilai bisa membahayakan eksistensi ideologi Pancasila baik ideologi itu yang berasal dari dunia Barat maupun dari Timur Tengah. Pentingnya kewaspadaan terhadap ideologi transnasional tersebut menurut Hasyim Muzadi karena ideologi tersebut tidak bersumber dari akar budaya Indonesia sehingga berbahaya bagi keutuhan bangsa.
Pada tahun 2007 Banser Ansor dan NU Kota Malang Jawa Timur juga menegaskan kembali kesetiaan NU terhadap pancasila. Penegasan kesetiaan tersebut dilaksanakan dalam suatu acara khusus yang dinamakan Apel Kesetiaan terhadap Pancasila bertempat di Jalan K.H. Hasyim Asy’ari Kota Malang yang dihadiri lebih dari seribu lima ratus orang warga Nahdliyyin.
Seluruh rangkaian kegiatan NU sebagaimana disebutkan di atas adalah bukti nyata bahwa NU adalah oramas Islam yang senantiasa komit dan setia terhadap Pancasila, UUD 1945 dan Negara kesatuan Republik Indonesia.

*********






BAB V
PENUTUP

Agaknya kita mesti belajar dari sejarah, bagaimana para Walisongo dengan pendekatan kulturalnya perlahan tapi pasti mampu mengislamkan lebih dari separoh wilayah Nusantara ini.


Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas penulis menyimpulkan bahwa dalam penerimaan NU terhadap asas tunggal Pancasila selain bisa dipertanggungjawabkan melalui dalil-dalil agama khususnya dalil qaidah fiqh/ushul fiqh dan tradisi pemahaman politik kaum sunni (Ahlussunnah wal-jama’ah) ada pengaruh sejarah sosial politik yang dialami oleh NU dalam menunjang penerimaan tersebut.
Dari segi tradisi pemahaman keagamaan dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya penerimaan terhadap Pancasila tersebut adalah karena nilai-nilai yang ada pada Pancasila tersebut dianggap baik, tidak bertentangan dengan nilai-nilai aqidah Islamiyah dan lebih menimbulkan maslahah dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Menurut pemahaman keagamaan (fiqh) orang NU maslahah-lah sesungguhnya yang menjadi tujuan makro dari seluruh ajaran agama (maqosid as-syari’ah).
Dalam kaitan dengan NKRI, Pancasila diterima karena fungsinya sebagai mu’ahadhah atau misaq, kesepakatan, antara umat Islam dengan golongan lain untuk mendirikan negara. Sebagai misaq, sejauh hal itu yang bisa dicapai, ummat Islam bertanggungjawab, begitu juga golongan lain untuk memegang teguh kesepakatan itu.
Sikap dan pendirian NU sendiri dalam berpolitik menurut kesimpulan penulis banyak dipengaruhi oleh tradisi pemahaman Ahlussunnah waljama’ah yang mana ketika menghadapi masalah selalu menggunakan kerangka berfikir melalui pendekatan kaidah-kaidah fiqh dan ushul fiqh (fiqh oriented). Hal inilah yang menjadikan NU berbeda dengan kelompok pembaharu dalam menghadapi setiap permasalahan. NU selalu tampil luwes, fleksibel dan lentur dalam berhadapan dengan setiap masalah yang dihadapi.
Jika ditinjau dari segi sejarah sosial politik yang dialami oleh NU, penulis menilai sesungguhnya penerimaan NU terhadap asas Pancasila adalah konsisten dengan sikap-sikap politik NU pada masa-masa sebelumnya. Dari segi proses perumusan misalnya, Pancasila sangat cocok dengan tradisi pemikiran yang berkembang di NU, yang mempertemukan agama dengan realitas empirik sebagai upaya menghormati tradisi dan budaya yang sudah ada. Menurut Abdul Mu, adanya kesamaan metode serta filosofi itulah NU menetapkan Pancasila sebagai pilihan terbaik. Bukan terpaksa memilih atau pilihan buruk.
Soal kenapa di BPUPKI/PPKI dan Konstituante orang-orang NU menolak Pancasila? Hal itu disebabkan karena pada masa itu penafsiran terhadap butir-butir Pancasila masih simpang-siur. Sedangkan pasca Dekrit Presiden sampai sekarang semangat keislaman (baca; Piagam Jakarta) telah diakui secara legal formal menjiwai Pancasila dan UUD 1945 dan dinyatakan sebagai satu-kesatuan yang utuh.

Saran-Saran
Belajar dari sejarah sosial politik Islam di Indonesia, menurut penulis alangkah bagusnya kalau perjuangan politik itu dilaksanakan melalui pendekatan kultural seperti yang dilaksanakan oleh NU dengan pola pikir pendekatan fiqhnya terutama sifat keagamaan dan sosial politiknya yang tawasuth, i’tidal, tasamuh dan tawazun, tidak dengan sistem yang mutlak-mutlakan. Karena perjuangan yang dilaksanakan dengan pendekatan non kultural dan dengan sikap yang mutlak-mutlakan dikhawatirkan hanya akan menimbulkan ketegangangan-ketegangan dan konflik ditengah-tengah masyarakat yang pada akhirnya malah menjauhkan umat dari kedamaian.
Dalam konteks Indonesia yang pluralis, penegakan ajaran (syari’at) Islam tidak mesti dengan menggembar-gemborkan simbol-simbol keagamaan karena yang penting adalah bagaimana supaya substansi ajaran Islam itu bisa terlaksana dengan baik, lagipula penegakan ajaran Islam dengan cara menggembar-gemborkan simbol-simbol keagamaan hanya akan menambah kecurigaan kelompok lain terhadap Islam politik bahkan cara yang demikian dikhawatirkan berpotensi memecah belah persatuan dan kesatuan NKRI. Ringkasnya untuk kedepan perjuangan Islam politik tidak perlu lagi memakai jargon-jargon syari’ah.
Agaknya kita mesti belajar dari sejarah, bagaimana para Walisongo dengan pendekatan kulturalnya perlahan tapi pasti mampu mengislamkan lebih dari separoh wilayah Nusantara ini.

*********